We make mistakes. People make mistakes. Everyone make mistakes.

Dari kesalahan kita mempelajari sesuatu. Membuat kopi terlalu hambar berarti kita mempelajari bahwa airnya terlalu banyak, tersesat karena belok kanan berarti kita mempelajari bahwa jalan yang benar adalah belok kiri, lidah tergigit ketika makan berarti kita mempelajari bahwa jangan terlalu cepat dalam mengunyah makanan.

Pertanyaannya adalah, apakah kita belajar dari kesalahan tersebut?

Dan yang paling penting lagi adalah, apakah kita bahkan menyadari ataupun menganggap bahwa itu adalah sebuah kesalahan?

Hari ini alhamdulillah gue sehat wal-afiat. Masih bisa menikmati kopi dan nikmatnya isapan rokok yang gue bakar. Jika pada suatu hari nanti gue terkena penyakit paru-paru, tentu gue akan kecewa, tapi tidak akan terkejut.

Dan jika itu terjadi, apa yang akan gue pikirkan nanti selain penyesalan “seandainya dulu gue tidak merokok”?


Ada setidaknya 3 penyesalan terbesar dalam hidup gue sejauh ini namun gue akan coba generalisasi:

  1. Mengutamakan ego daripada logika
  2. Mementingkan diri sendiri daripada orang lain
  3. Mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri

Nomor 2 dan 3 sekilas terlihat kontradiksi, tapi pada dasarnya dua hal tersebut adalah hal yang sangat berbeda.

Dari 3 penyesalan diatas, terkadang gue bertanya-tanya: bagaimana jika pada saat itu gue tidak mengambil keputusan dalam keadaan marah? Bagaimana jika pada saat itu gue menyadari suatu hal dan berhenti menganggap bahwa hal tersebut tidak ada? Bagaimana jika pada saat itu gue mengamini apa yang orang lain inginkan alih-alih bersikeras untuk memilih apa yang gue inginkan?

Gue tidak akan tahu jawabannya, karena pada dasarnya jalan yang gue ambil adalah hal kontra dari pertanyaan tersebut.

Ada satu pertanyaan yang tidak jarang menghantui pikiran gue: apa yang akan dilakukan jika memiliki kesempatan lagi?

Apa yang akan dilakukan jika memiliki kesempatan lagi?


Misal gue diberi kesempatan untuk kembali ke tahun 2018, spesifiknya ke momen ketika gue sedang bermain permainan DoTA setelah jam kantor. Teman gue mengajak ngopi di sebuah tempat kopi di Bandung. Ada seseorang spesial di tempat itu, dianggap spesial karena tidak biasanya orang tersebut hadir, terlebih karena tempat tinggal dia pada saat itu jauh di Yogyakarta.

Pada saat itu gue beralasan tidak bisa datang karena gue sedang bermain DoTA, yang tentu saja alasan utamanya bukanlah itu. Alasan utamanya adalah karena gue ingin balas dendam. Gue tidak datang untuk balas dendam karena ketika gue ke Jogja tidak jauh dari minggu itu, gue mengajak dia untuk bertemu dan dia tidak bisa mengiyakan karena alasan yang tidak gue ingat namun kurang masuk akal.

Hasilnya?

Kontak dan sosial media gue diblokir, hubungan kami—in any way—berjalan kurang baik, dan pada akhirnya gue hanya mendapatkan kepuasan sesaat. I’ve won, but at what cost?

Namun apa yang terjadi jika gue memilih untuk mendatangi? Nobody knows.

Mungkin gue akan tahu alasan dia sebenarnya mengapa tidak bisa bertemu gue? Mungkin kami menjalin sebuah hubungan yang lebih baik? Mungkin dia tidak akan memblokir kontak dan sosial media gue? Mungkin dia tidak akan berpacaran dengan pacarnya saat ini?

Sekali lagi, tidak ada yang tahu.

Gue merasa menyesal dengan pilihan yang waktu itu gue pilih, tapi bagaimana jika gue memilih pilihan sebaliknya, justru malah membuat kondisi menjadi lebih buruk daripada seperti sekarang?

Sekali lagi, tidak ada yang tahu.

Berdasarkan hal itu, gue memilih untuk tidak kembali untuk “memperbaiki” dan alih-alih memilih untuk merasa cukup dengan belajar dari kesalahan yang gue buat saja. Lebaran kemarin gue iseng mengontak dia berbekal kontak yang dikirim teman, dan ternyata gue sudah tidak diblokir lagi. Dan karena masih lebaran, kami pakai momen ini untuk saling bermaafan. Dia bilang ke gue untuk melupakan kejadian tersebut dan anggap saja sebagai bagian dari “proses menuju dewasa”, dan dari sini gue yakin bahwa gue sudah tidak perlu menyesalkan penyesalan yang pertama gue tersebut.

Gue sudah lama menghindari mengambil keputusan ketika logika dan perasaan sedang merasa kacau berkat belajar dari peristiwa itu.

Gue tahu bahwa gue tidak akan bisa kembali ke masa lalu.

Gue tahu bahwa masih ada kesalahan lain yang mungkin belum pernah gue lakukan.

Gue tahu bahwa, kesempatan, seringkali tidak datang dua kali.

Dan dalam setiap penyudahan, gue selalu tidak melihat kebelakang.

Namun jika gue diberi kesempatan untuk dipertemukan kembali dengan yang pernah memutuskan untuk menyudahi, gue tidak akan melihat kebelakang. Beberapa teman dekat gue mengetahui ini, namun mereka ada beda perspesi dengan yang gue maksud.

Bukan berarti gue tidak akan pernah kembali dengan yang sudah ‘pernah’, gue hanya tidak ingin kembali bersama dengan seseorang yang sama dengan dia di masa lalu. Karena yang gue yakini, dirinya di masa lalu berbeda dengan dirinya di masa depan nanti, termasuk diri gue juga.

Tidak ada istilah “mendengarkan lagu lama” dalam kehidupan gue. Mungkin penyanyinya tetap sama, namun nadanya sudah berbeda. Banyak pengetahuan dan pengalaman yang sudah dipelajari, dan manusia pada dasarnya selalu berkembang menjadi lebih baik lagi.

Dan di konteks asmara, gue selalu mencintai seseorang karena seseorang itu sendiri as a person, bukan karena hal-hal yang gue cintai *kebetulan *berada pada orang tersebut.


Malam ini gue membuka aplikasi Photos sebelum tidur. Ada banyak kenangan yang diabadikan dalam bentuk media foto meskipun kenangan yang paling terbaik selalu berada di ingatan.

Gue mengingat bagaimana rasanya duduk berdua di Ekologi sambil mengingat betapa kekanak-kanakkannya kami waktu itu.

Gue mengingat bagaimana rasanya melepas dan mengumpulkan rasa rindu di Stasiun Bandung sambil mengingat betapa bodohnya kami menjalani hubungan yang berat sebelah.

Gue mengingat bagaimana rasanya berkenalan dengan *stranger *pertama kali sambil mengingat betapa melelahkannya kami dalam menjalin hubungan.

Semuanya spesial di tempat dan waktunya masing-masing. Tidak pernah gue menuntut apalagi membandingkan. Gue yakin kita hanya melakukan yang terbaik sekalipun pilihan terakhir yang dipilih adalah perpisahan.

HP gue simpan, sambil menatap langit-langit kamar yang gelap, pikiran gue mengeluarkan pertanyaan “What if we had another chance to be like we used to be?”

Terlepas apakah akan mengulangi kesalahan yang sama lagi atau tidak dan terlepas apakah akan terasa sama atau berbeda, poinnya ada di kesempatannya.

Karena pasti ada alasannya mengapa diberi kesempatan lagi ataupun tidak diberi kesempatan lagi sama sekali.

We don’t always know the reason but something I believe of is that we gonna learn something else.

Belajar selalu terasa melelahkan dan kabar buruknya, kita akan terus belajar banyak hal seumur hidup.

Gue memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dari pikiran gue tersebut, gue yakin sang waktu lah yang pantas menjawabnya.

I do my part, they do theirs.

Kita hanya memilih takdir kita masing-masing.

Terlepas usaha apa yang kita lakukan.