Malam ini cukup sunyi, hanya ada suara kipas dari AC yang terdengar. Gue sedang duduk memandangi layar monitor yang gelap, sambil menghabiskan anggur sisa dari dua minggu kemarin.

Botol anggur ini sebelumnya penuh, sekarang tinggal berisi sekian mililiter yang gue rasa hanya akan memenuhi 1/3 dari gelas yang sedang gue pegang. Dan setelah dituangkan, botol tersebut akan menjadi kosong.

Dan botol ini akan tetap disebut botol anggur sekalipun tidak ada air anggur didalamnya.

Tidak terlihat adanya bulan malam ini, namun gue yakin bulan selalu berada di posisinya. Langit terang yang gue lihat 8 jam yang lalu sekarang berubah menjadi gelap karena cahaya matahari yang entah sedang menyinari bagian bumi yang mana.

Sekilas gue kepikiran, dalam keadaan sadar, apa yang membuat pada waktu ini disebut malam? Apakah karena sekarang—di letak geografis gue—pukul 02:02 WIB atau karena matahari sedang menyinari bagian bumi yang lain sehingga hanya terlihat cahaya dari bulan saja?

Gue menuangkan tetes terakhir dari botol anggur ini yang nantinya akan hanya menjadi botol kosong.

Jika botol anggur ini disebut botol anggur karena adanya air anggur, dan jika malam disebut malam karena waktu menunjukkan jam malam, berarti perubahan seharusnya terjadi karena faktor ‘keberadaan’ dan ‘keadaan’.

Tapi, apakah iya?

Keberadaan

Kamar ini disebut terang ketika ada cahaya lampu, dan disebut gelap ketika tidak adanya cahaya lampu. Keberadaan sesuatu mempengaruhi sebuah keadaan, yang berarti, sebuah perubahan terjadi karena terdapat faktor mempengaruhi tersebut, terang-tidaknya kamar ditentukan oleh keberadaan dari cahaya lampu tersebut.

Jika memang sesuatu berubah karena keberadaan sesuatu, yang dalam kasus ini adalah ada dan tidak adanya cahaya, mengapa kamar tetap disebut gelap jika cahaya yang dihasilkan oleh lampu tersebut kurang?

Kamar gelap, menyalakan lampu dengan brightness 1%, dan mengapa masih disebut gelap (tidak disebut terang) padahal cahaya lampunya ada disitu?

Mungkin ini pertanyaan bodoh atau kesalahan berlogika. Tapi, coba pikirkan ke hal-hal praktis yang mungkin terjadi dikeseharian. Favorit gue adalah merasa kesepian, sebuah kondisi dimana gue merasa… kesepian?

Jika penyebab kesepian tersebut karena tidak ada orang, come on, puluhan orang berlalu lalang mengurus urusannya sendiri didepan mata gue. Jika penyebab kesepian tersebut karena tidak ada orang untuk diajak berbicara, 3 dari 20 daftar di kontak gue mungkin akan menerima panggilan gue ketika gue menekan sebuah tombol berlogo telefon.

Jika penyebab kesepian tersebut karena tidak adanya “keberadaan” sesuatu, sesuatu apa yang harus ada sehingga kesepian tersebut bisa berubah menjadi “tidak kesepian” lagi?

Jika gue tahu jawabannya, gue gak perlu menghabiskan anggur hanya untuk menulis disini tentang ini.

Keadaan

Mari kita kesampingkan keberadaan dan fokus ke keadaan.

Kamar disebut gelap meskipun ada cahaya lampu karena penerangannya kurang. Jika misalnya brightness gue naikkan menjadi 100%, maka besar kemungkinan kamar ini tidak lagi disebut kamar yang gelap. Masalah terselesaikan.

Apa ukuran brightness dari cahaya lampu tersebut? Itu urusan lain, dan kita sedang tidak berada di kelas fisika.

Lalu gue putar warna cahaya lampu dari putih menjadi merah. Dengan tingkat lightness/brightness yang sama, menimbulkan keterangan yang berbeda juga. I really did by the way.

Kamar menjadi gelap karena warna yang didominasi oleh merah, dan seperti yang kita tahu, merah (ff0000) adalah hsl(0, 100%, 50%) yang maksudnya memiliki tingkat warna 0 derajat, dengan tingkat intensitas 100% dan kecerahan 50%.

Dan putih (ffffff) adalah hsl(0, 100%, 100%). Apapun tingkat warna (hue) dan intensitasnya (saturation), pemeran penting dari sistem pewarnaan ini adalah tingkat kecerahan (lightness) pada warna tersebut.

Terasa pusing? Sama, bedanya gue karena dalam pengaruh sesuatu.

Kembali ke masalah kesepian yang sempat kita sebutkan, anggap masalahnya adalah karena tidak adanya seseorang yang bisa diajak berbicara. Lalu ada 3 orang yang bisa gue ajak bicara, dan satu hal yang ada di pikiran besar kemungkinan adalah “3 orang kagak cukup, riz!“.

Lalu kita naikkan angkanya, anggap jadi 10.

Dan lo harusnya tahu baris ini akan membahas tentang apa.

Oke lalu kita ganti jadi banyaknya orang berlalu-lalang. Mungkin puluhan kita ganti jadi ratusan. Ada ratusan orang berlalu-lalang didepan mata gue, yang anggap gue sedang di daerah scbd pas jam maksi.

Dan yes, lo harusnya tahu baris ini akan membahas tentang apa.

Jika penyebab kesepian tersebut karena tidak memenuhi “keadaan” sesuatu, sesuatu apa yang harus dipenuhi sehingga kesepian tersebut bisa berubah menjadi “tidak kesepian” lagi?


Masalah utama dari sebagian besar pekerja remote adalah kesepian. Tidak jarang para pekerja remote melakukan pekerjaannya di toko kopi ataupun di sebuah tempat bernama coworking space. Jika tidak yakin, silahkan googling sendiri.

Tidak merasa kesepian dalam keramaian adalah hal yang wajar, dan tidak jarang seseorang merasa kesepian dalam keramaian. Kesepian sering kali dikaitkan dengan merasa sendirian, yang berarti gampangnya, tidak menemukan orang lain yang melakukan hal serupa dengan kita juga.

Ketika gue sedang tiduran menatapi langit-langit kamar yang biasa-biasa aja, kadang gue merasa kesepian dan sedangkan tidak memiliki cukup energi untuk melakukan aktivitas lain selain tiduran. Tidak jarang teman gue mengajak bermain permainan bersama, dan disitu gue mulai lupa bahwa beberapa menit yang lalu gue sedang merasa kesepian.

Jika misalnya gue sedang tiduran dan menatapi langit-langit kamar sialan lalu ada orang lain yang melakukan hal serupa juga, gue yakin gue tidak merasa kesepian, karena gue menemukan orang lain yang melakukan hal serupa juga.

Yang berarti perubahan terjadi karena sebuah keberadaan. Dan keadaan.

Problem solved?

Lalu gue membersihkan botol anggur dan mengisinya dengan air mineral sampai penuh. Gue akan tetap menyebutnya botol anggur meskipun isinya bukanlah air anggur.

Lampu kamar gue sampai tulisan ini gue ketik masih berwarna merah dengan brightness 100%, dan gue akan tetap menyebutnya kamar yang terang meskipun warna dominannya bukanlah putih.

Lalu gue menyimpulkan, sesuatu yang membuat sesuatu berubah bukanlah keadaan ataupun keberadaan. Tapi keyakinan.

Keyakinan biasanya dilandasi dengan pemikiran dan penilaian, dan gue rasa, sampai kapanpun dua hal tersebut selalu berifat relatif karena tidak bisa diukur.

Gue yakin ini disebut botol anggur dan bukan botol minum air putih karena gue melihat dari stikernya. Dan gue yakin kamar ini disebut terang karena gue masih bisa melihat sesuatu.

Gue sedang merasa kesepian sekalipun dalam keramaian dan meskipun memiliki orang untuk bisa diajak mengobrol, karena gue yakin kalau gue sedang kesepian.

Tapi ada faktor dalam keyakinan tersebut.

Seharusnya ada pemikiran dan penilaian yang menjadi landasan.

Rukun iman pertama dalam agama Islam adalah percaya kepada tuhan (Allah SWT).

Sifat wajib pertama tuhan (Allah SWT) di agama Islam adalah wujud, alias ada.

Dalam melakukan keyakinan, harus ada bukti. Bukti yang bisa dinalar oleh akal (pemikiran) dan bukti yang kebenarannya bersifat mutlak (penilaian).

Gue sebagai umat Islam secara teknis percaya bahwa adanya tuhan bukan karena sudah seharusnya gue harus percaya itu. Ada bukti-bukti yang bisa dipertanggung jawabkan, dari dalil aqli yang bisa dinalar (i.e: siapa yang menciptakan alam semesta jika bukan tuhan? — Dan gak perlu debat tentang teori big bang disini) sampai dalil naqli yang memang no debat (i.e: di kitab suci dalam surat sekian ayat sekian dijelaskan bahwa blablabla).

Kembali ke pembahasan—sorry not sorry jika tadi membawa topik aqidah by the way—apa yang membuat gue yakin? Hal apa yang membuat gue berpikir dan menilai sesuatu sampai gue meyakini hal tersebut?

Apakah di hidup ini terkadang ada hal-hal yang bersifat mutlak yang tidak perlu dipertanyakan kejelasannya?

Dalam sebuah surat Tuhan berfirman bahwa *“terjadi, maka terjadilah” *aliasKun, fayakun.

Di tempat lain sering disebut dengan Que sera, sera. Whatever will be, will be.

Gue tidak mungkin bisa seperti “jangan kesepian, maka gue tidak kesepian”.

Jangan malas, maka gue tidak malas.

Pintarlah, maka gue menjadi pintar.

Berbahagialah, maka gue akan bahagia.

Pasti ada sesuatu yang harus mempengaruhi.

Bukan keadaan, bukan keberadaan, tapi keyakinan.

Keyakinan untuk tidak merasa kesepian, untuk tidak malas, untuk menjadi pintar untuk bahagia, apapun.

Anggap lo sekarang sedang haus. Jika tidak haus, yakin aja kalau lo harus meminum air.

Jika lo melakukannya, apa yang membuat lo terdorong untuk melakukan hal itu?

Apa yang membuat lo yakin bahwa lo harus meminum air?

Apa yang membuat lo yang sedang tidak ingin minum berubah menjadi ingin minum meskipun sedang tidak haus?

Jika gue tahu jawabannya, gue seharusnya tidak perlu panjang lebar menulis 1563 kata di tulisan ini.

Sebagai penutup, mungkin kita sudah familiar dengan sesuatu bernama entropi.

Sebuah keacakan, sebuah ketidakteraturan dalam sistem.

Entropi sering disebut sebagai panah waktu. Alasan es batu di es kopi favorit kita mencair adalah karena peningkatan entropi: molekul air yang terikat dalam kisi kristal mendapatkan lebih banyak energi, menyebar lebih jauh, dan kehilangan struktur untuk membentuk cairan. Setidaknya itu yang gue copas dari artikel random di internet.

Anggap sesuatu berubah karena entropi, dan bukan karena keyakinan.

Ada banyak contoh sederhananya, dari kematian; es batu mencair, kulit menjadi keriput, buah menjadi busuk bila lama didiamkan, dsb.

Bahkan bukankah “keterbiasaan” pun dapat membuat sesuatu berubah?

Seseorang tidak malas untuk melakukan X jika sudah terbiasa melakukan X.

Kamar yang gelap tidak terasa gelap jika sudah terbiasa dengan tingkat cahayanya.

Sesuatu yang membuat sesuatu berubah adalah entropi.

Apapun itu entropinya, itu sudah bukan urusan gue lagi.

Mulai sekarang gue akan menyalahkan waktu untuk setiap terjadinya perubahan.

Dari awal yang gue bingungkan bukanlah mengapa terjadi dan tidak terjadinya sebuah perubahan, melainkan mengapa sesuatu bisa berubah.

Dan gue rasa, sekali lagi, gue sudah tahu jawabannya.

Dan untuk menjawab pertanyaan *Apa yang membuat lo yang sedang tidak ingin minum berubah menjadi ingin minum meskipun sedang tidak haus? *tadi, mungkin jawabannya adalah *“karena sudah waktunya”. *Terlepas kenapa sudah waktunya, gue tidak memusingkan hal itu.

Dan terima kasih sudah menemani gue ketika sedang tidak terlalu sadar.

Dan, ya, gue sudah tahu apa yang akan gue tulis sampai baris ini.