Pada tahun 2021 kemarin gue sempat menjalankan Mastodon untuk pertama kalinya. Tidak lama kemudian sempat berpindah ke Pleroma, yang lalu pada tanggal 26 Oktober 2021 kembali lagi ke Mastodon, sampai hari ini.

Alasan menjalankan *instance *Mastodon sendiri sampai hari ini sebenarnya hanya satu: Ingin meninggalkan sosial media mainstream namun tetap ingin memiliki kehadiran online. Akhir-akhir ini beberapa tokoh publik mulai meninggalkan memiliki media sosial alternatif dari Twitter setelah Elon secara resmi mengakuisisi Twitter, yang dilanjutkan dengan beberapa kabar yang kurang mengenakkan terkait masa depan Twitter.

Beberapa orang mungkin menjadikan Twitter sebagai tempat utama untuk berkeluh kesah, mungkin untuk mencari nafkah, atau mungkin sekadar untuk mencari hiburan. Jika alasan utama meninggalkan Twitter dan beralih ke Mastodon (atau alternatif lain) hanya karena 3 hal tersebut, gue yakin sebagian besar akan gagal dan akan kembali ke Twitter.

Umumnya sosial media disebut dengan “social network” tapi gue rasa kata sosial media (atau media sosial?) lebih umum digunakan di Indonesia, fwiw.

Sebelum menyelam lebih dalam, gue ingin berbagi tentang alasan gue ingin meninggalkan sosial media mainstream yang ada. Dari Facebook, Twitter, Google+, Pinterest, Tiktok, Quora, Plurk (anyone?), Instagram, Snapchat, dan lain-lain.

The Joy Of Missing Out

Sampai hari ini gue tidak kepikiran model bisnisnya bila sosial media adalah sebuah produk. Ambil contoh game, lo membayar sekian rupiah di Steam untuk dapat memainkan permainan yang dikembangkan oleh si pengembang game. Lo akan berpikiran seperti “the best thing money can buy” khususnya bila pengalaman yang lo dapat ketika/setelah bermain game tersebut sebanding dengan uang yang lo keluarkan.

Cukup sederhana.

Sosial media cukup sulit bila dijual sebagai produk, tidak ada nilai sebanding yang bisa ditukar dari sosial media. Umumnya produk utama dari perusahaan yang mengoperasikan sosial media adalah iklan, dan yang dijual adalah penggunanya. Siapa pembelinya? Siapapun yang ingin beriklan.

Produknya beragam, dari segmentasi pengguna per lokasi; gender, umur, dan ketertarikan. Ingin mengiklankan produk kepada pengguna pria berumur 21-25 yang berada di daerah Jakarta Selatan? You name it!

Karena produknya adalah pengguna, bagaimanapun yang terus dikembangkan adalah… penggunanya itu sendiri. Dari seberapa sering pengguna mengakses sosial media sampai ke seberapa lamanya. Metriks tersebut berguna agar iklan yang ditayangkan optimal dan tepat sasaran. Disamping itu, untuk membuat penayangan iklan lebih optimal lagi, iklan harus ditayangkan ke target yang relevan. Cukup aneh bila pengguna yang tidak meminum kopi mendapatkan iklan tentang produk kopi terbaru, bukan? Karena hal itu, mereka harus mengumpulkan data terkait pengguna se-relevan mungkin, bila kata ‘sebanyak mungkin’ terdengar agak menyeramkan.

Dampaknya, silahkan lihat statistik di *screen time *kalian. Atau di dasbor DNS query kalian jika cukup nerd. Berapa kali anda membuka sosial media X dalam sehari? Dalam seminggu? Sebulan? Dan berapa lama membukanya dalam sehari?

Teknik untuk ‘pengoptimalan’ tersebut beragam, namun gue rasa kita sepakat bahwa cara yang paling umum adalah untuk membuat pengguna menjadi ‘hooked’. Membuat ‘menggunakan sosial media’ menjadi bagian dari kebiasaan si pengguna, sampai membuatnya kecanduan.

Sehingga kalimat “ada apa nih? baru gak buka twitter 3 jam udah ketinggalan berita aja” menjadi sesuatu, dan akan merasa ada yang hilang ketika aktivitas yang biasa dilakukan, tidak dilakukan.

Signal-to-noise ratio

Sosial media terkadang menjadi tempat yang *pas *untuk melakukan personal branding. In fact, pekerjaan gue sampai hari ini bermula dari interaksi singkat yang terjadi di Twitter, yang mungkin usaha gue dalam membangun personal brand disana agak berperan.

Banyak akun yang ingin gue ikuti kabarnya, dari akun personal sampai bisnis, karena gue tertarik mengikuti pembaruan yang terjadi di lini masa mereka.

Entah karena gue buruk dalam menggunakan sosial media atau bagaimana, sayangnya gue **lebih banyak mendapatkan apa yangtidak ingingue dengar dan mendapatkan lebih sedikit apa yang ingin gue dengar. Berdasarkan asumsi pribadi, ini karena rancangan sosial media yang memang dirancang untuk memudahkan banyak orang untuk saling terhubung.

Bayangkan lo seperti mencari stasiun radio yang pas, namun lo lebih banyak mendengar kebisingan daripada suara penyiar yang ingin lo dengar.

Lalu ada satu hal yang membuatnya semakin sempurna: vanity metrics. Dari jumlah pengikut, jumlah retweet, jumlah share, jumlah like, jumlah penayangan, dsb. Metriks yang seharusnya hanya berguna untuk pembeli produk, namun menjadi berguna juga bagi si produk hanya untuk memenuhi kepuasan.

Dan ini by design.

Bukan tanpa alasan mengapa “you may also like”, “trending topics”, “discover”, “for your page” dsb ada. Dan polanya adalah: ada**banyak orang yang menyukai/membicarakan tentang ini, mungkin lo juga akan suka.

The very shitpost

Terkadang ada saja yang gue pikirkan. Dari yang mungkin cukup bernilai sampai ke yang sebatas sampah. Actually kebanyakan yang sampah. Kadang sampah tersebut harus dibuang, beberapa orang mungkin bisa dengan mudah melupakan/mengabaikannya, tapi kalau gue seringnya harus dibuang dan “sosial media” sepertinya tempat yang pas.

You know, sampah-sampah remeh dari keluhan harga kopi langganan naik 2rb sampai ke hitung-hitungan living cost di jaksel yang dirasa “too cute to ignore”.

Sebuah tanda kalau dulu gue kurang dapat perhatian.

Anyway, jika gue memikirkan sesuatu terus-terusan, seperti, memikirkan sesuatu dari ketika sedang di transjakarta dan masih memikirkannya ketika jalan kaki balik ke kosan, biasanya akan menjadi tulisan jika gue ada energi sampai ke menerbitkanya, seperti tulisan ini.

Jika gue memikirkan sesuatu lalu gue ketik dan selama 2 menit tidak gue hapus, biasanya akan gue publikasikan di akun Mastodon gue, dan akan berada disana jika gue tidak ada mood untuk menghapusnya di lain waktu.

Selainnya, berarti gak penting-penting amat atau mungkin karena sedang ada kesibukan yang lain. Atau mungkin visibility nya hanya untuk follower-only/me.

Namun bagian pentingnya adalah: entah mengapa gue ingin orang lain melihat sampah tersebut. Entah bagaimana gue ingin orang lain tahu apa yang sedang gue pikirkan tersebut, sekalipun itu adalah sampah. Dan gue rasa orang lain pun akan mengabaikannya jika tidak peduli ataupun tidak ingin mengetahuinya. win-to-win.

Mastodon love story

Berdasarkan 3 poin utama diatas, gue menjalankan *instance *Mastodon sendiri di jaringan rumah. Mengapa Mastodon dan bukan *software *lain, karena alasan preferensi, atau lebih tepatnya terkait hal-hal teknis.

Instance ini invite-only, dan hanya orang-orang yang gue mau yang bisa mendaftar disini. Bukan berarti gue menutup diri ataupun “calling out”, dan justru disini keindahan Mastodon daripada sosial media mainstream.

Gue ingin melakukan segmentasi. Kebanyakan instance Mastodon memiliki kategori, dari per regional sampai ke per topik. Anggap segmentasi seperti “lo kalo dari Indonesia, join sini!” atau “lo kalo seneng bahas tentang mobil tua, disini tempatnya!“. Di instance gue, segmentasinya adalah “kalau kita kenal dan ingin keep in touch, sini join”.

Di sosial media mainstream, tidak ada segmentasi. Literally seperti “sini join twitter karena di tongkrongan yang kagak pake twitter cuma lo doang bang” dan lalu lo main twitter karena mereka (dan teman mereka dan temannya teman mereka) ada disana.

Tapi ada satu efek sampingnya: tidak semua yang ingin lo lihat di Mastodon, ada di Mastodon. And it doesn’t matter. Tidak semua orang yang ingin gue hubungi ada di email, tapi gue tetap bisa keep in touch dengan mereka anyway.

Bagian menarik lainnya dari Mastodon daripada sosial media mainstream adalah Mastodon bukanlah sebuah platform, melainkan implementasi dari sebuah protokol terbuka. Biasanya Mastodon disamakan dengan email, lo bisa mengirim pesan ke teman lo di gmail.com meskipun lo menggunakan icloud.com.

Jika platform, sederhana, lo tidak bisa mengikuti kabar teman lo di Facebook sedangkan lo hanya menggunakan Twitter.

Dari semua sosial media yang gue sebutkan, kebanyakan mereka akan agak memaksa lo untuk bergabung ke platform tersebut jika lo tidak memiliki akun ataupun tidak terautentikasi disana. Silahkan lihat akun acak di Twitter tanpa login, dan tunggu beberapa detik sampai popup “See more Tweets from X. People on Twitter are the first to know” muncul.

Dan lo (ataupun pemilik dari akun tersebut) tidak memiliki kontrol untuk itu.

Yang paling penting, Mastodon ada bukan untuk profit. Tidak ada profit yang diharapkan dari menjalankan instance Mastodon di internet, sekalipun it costs money (there ain’t no such thing as a free lunch, baby!). Biasanya admin instance menawarkan donasi ke penggunanya untuk bisa membantu menutupi biaya, tetapi tidak jarang juga si admin menjalankan instance tersebut secara sukarela.

Balik lagi, karena bukan untuk profit tersebut, komunitas Mastodon fokus untuk membuat Mastodon menjadi lebih baik lagi, bukan fokus ke bagaimana agar penggunanya bisa sering dan betah berlama-lama di Mastodon sehingga potensi iklan dilihat dan diklik menjadi lebih besar.

Dan, ya, di Mastodon tidak ada iklan karena produk dari Mastodon adalah Mastodon itu sendiri, yang dikembangkan oleh komunitas dan bukan perusahaan for-profit.

And did I mention Mastodon is Open Source?

Menggunakan Mastodon

Mastodon dirancang untuk bisa melayani pengguna sebanyak mungkin. Dari 1 pengguna aktif sampai ke 173,000 pengguna. Tapi yang gue yakin, Mastodon (ataupun alternatif lainnya) akan lebih ideal bila penggunanya ‘cukup’ di instance tersebut.

Khususnya bila tidak ada ‘orang khusus’ untuk melakukan moderasi ataupun karena instance tersebut lebih untuk kepentingan ‘kekeluargaan’ daripada ‘komunitas’.

Untuk skala komunitas, moderasi pasti harus dilakukan, meskipun hanya memiliki Code of Conduct pun cukup membantu.

Awal ketika menggunakan Mastodon, lo akan bingung. Mungkin mempertanyakan suatu hal karena tidak menemukan apa yang lo cari di Mastodon. Bayangkan seperti membuat akun email pertama kali, dan lo bingung ingin melakukan apa dengan email tersebut, sampai lo sadar bahwa lo hanya menggunakan email ketika sedang membutuhkannya saja.

Ya, protokol hanyalah “membantu memfasilitasi” karena “membantu mencari” adalah karakteristik platform. Seiring berjalannya waktu, lo akan mendapatkan apa yang lo cari dengan cara lo sendiri. Seperti, membagikan alamat email lo dan memberitahu siapapun untuk bisa menghubungi lo melalui email.

Lalu beberapa akan tersadar akan tujuan utama dalam menggunakan sosial media: untuk mendapatkan lebih banyak apa yang ingin didengar dan mendapatkan lebih sedikit apa yang tidak ingin didengar.

Sebagai penutup dari poin ini, ada satu hal yang menurut gue killer feature nya Mastodon: Post visibility. Di Mastodon, lo bisa membagikan sesuatu berdasarkan audiens, dari public; hanya pengikut, hanya yang disebutkan (seperti DM) dan hanya diri lo (dan moderator i guess). Di sosial media mainstream, visibility tersebut berada di level akun, bukan audiens. Lo tidak bisa membagikan sesuatu hanya untuk pengikut jika akun lo publik.

Dan lo bisa mengganti setiap ada kata Mastodon di tulisan ini dengan “brand” lain seperti Pleroma, Misskey, GNU Social, dsb selagi menggunakan protokol (terbuka) yang sama yakni ActivityPub.

What’s next?

Instance Mastodon gue berjalan di jaringan rumah yang pada saat ini (ketika pindah ke Jakarta) kurang stabil. Tidak jarang instance tersebut tidak bisa diakses melalui jaringan internet, meskipun gue masih bisa mengaksesnya ketika sedang berada di rumah.

Instance gue berjalan di mini komputer Intel NUC dengan 2 CPU dan 8 GiB memory, berbarengan dengan 20 container/proses lainnya yang sedang berjalan, termasuk blog ini. Dan somehow berjalan dengan mulus meskipun kendala utamanya hanyalah koneksi internet.

Komponen utama dari Mastodon ada 3: Web (sesuatu yang lo lakukan di browser), Streaming (untuk melakukan live update sehingga lo tidak perlu melakukan refresh manual), dan worker (sesuatu untuk memproses pekerjaan dibelakang layar seperti menampilkan kabar orang lain di lini masa lo). Basis data yang direkomendasikan adalah PostgreSQL untuk menyimpan data persisten (seperti untuk menyimpan data status yang lo bagikan) dan Redis untuk menyimpan data ephemeral (seperti penunjuk ke foto profile lo yang gak mungkin lo ganti setiap 10 detik sekali).

Jadi totalnya ada 5 komponen. Butuh keahlian sysadmin dasar untuk bisa menjalankan Mastodon sendiri, atau lebih tepatnya menjalankan apapun sendiri pada umumnya. Namun ada layanan pihak ketiga yang spesialis menjalankan Mastodon untuk lo seperti mastohost, sehingga lo tidak perlu mempelajari apapun terkait administrasi sistem termasuk menggunakan Minio alih-alih block device untuk menyimpan media statis.

Di bulan yang sama (Oktober 2021) gue juga menjalankan instance Pixelfed gue sendiri yang bisa diakses disini. Motivasinya tidak jauh berbeda dengan menggunakan Mastodon, namun khusus untuk shitpost yang didekasikan menggunakan foto sebagai media utama lol.

Gue tidak ada kepikiran untuk kembali ke Twitter, meskipun minggu lalu gue mengaktifkan kembali akun Instagram… karena sebuah misi.

Dan sejauh ini, belum ada kepikiran untuk mematikan instance Mastodon karena gue tidak merasakan bahwa menjalankan instance Mastodon gue sendiri menjadi sebuah liabilitas. Mungkin belum, semoga tidak pernah.

Penutup

Jika kepikiran dan masih ragu-ragu untuk beralih ke Mastodon, just give it a shot! Pastikan bergabung dengan instance yang sesuai dengan preferensi, rekomendasi gue ada:

  • mstdn.io untuk yang general purpose
  • Fosstodon untuk yang tertarik dengan FOSS (Free/Open Source Software)
  • BSD Network untuk yang tertarik dengan apapun terkait *BSD (bukan komplek random di tangerang)

Ada juga instance Misskey yang gue tahu seperti misskey.id yang dijalankan oleh pengguna dari Indonesia yang memiliki pengguna aktif cukup banyak. Dan, yes, lo bisa mengikuti akun Mastodon gue sekalipun tidak menggunakan Mastodon (fediverse, baby!).

Jika ingin menjalankan instance Mastodon pribadi (di VPS, Kubernetes (please don’t), jaringan rumah, dsb), let me know if you need a hand! But be aware: self-hosting is addictive if you go down the rabbit hole iykwim ;)

Ada banyak masalah yang terdapat di sosial media mainstream. Silahkan hitung ada berapa banyak buku; artikel, karya ilmiah, film, dsb yang membahas tentang sosial media. Mungkin masalah tersebut akan ada juga di Mastodon, atau di Pleroma, atau di Misskey, atau di sosial media manapun.

Dan tahukah apa masalahnya? People.

It’s always about people.

Bertahun-tahun platform mencoba menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan manusia ini menggunakan sesuatu yang disebut algoritma. Berbagai riset dan solusi dilakukan, namun sampai saat ini masalah terkait moderasi belum bisa diselesaikan sepenuhnya. Mungkin karena manusia terlalu kompleks dan beragam, dan robot belum bisa memahami kerumitan dan keberagaman tersebut seutuhnya.

Dan pada akhirnya, cara yang paling ideal untuk berurusan dengan manusia adalah dengan sentuhan manusia itu sendiri. Belum masanya robot menjadi ‘manusiawi’ dan memiliki sifat-sifat yang membuat manusia menjadi manusia—mungkin suatu saat nanti.

Yang maksudnya, jika “blocklist” bukanlah cara yang ideal untuk melakukan moderasi, mungkin bisa mempertimbangkan untuk menerapkan “allowlist”. Pendekatan “block by default unless allowed” efektif di lingkungan yang cukup sensitif meskipun terkesan gatekeeping dan kurang friendly, mungkin itu salah satu alasan mengapa Mastodon menyediakan fitur “invite-only” ataupun “need approval” ketika ingin mendaftar di salah satu instance: untuk mempermudah moderasi dikemudian hari.

Anyway, jika tidak memiliki masalah yang berkaitan dengan sosial media mainstream ataupun apapun yang dibahas disini, then, good for you. Jika X bukan untuk siapapun, berarti Y pun seharusnya bukan untuk siapapun.

Alternatif dari menggunakan Mastodon (atau Pleroma, atau Misskey, atau lebih spesifiknya “melakukan microblogging”) adalah dengan melakukan blogging. Fitur sosial dari blogging (seperti berinteraksi melalui kolom komentar misalnya) akan ada disana, tapi sifatnya opsional tergantung keinginan dari si pemilik blog.

Selainnya, mungkin silahkan hanya bersosial di dunia “nyata”. Cari hobi, bergabung dengan komunitas, lakukan apa yang disuka. Setiap orang memiliki cara yang beragam dalam bersosial.

Dan sebagai penutup, welcome to Fediverse.

Fediverse bukanlah hal yang baru. Bertahun-tahun pengguna internet dapat bertukar informasi dan berfederasi tanpa batas sekalipun ekosistem bergerak.

Dan kumpulan jaringan kecil yang saling terhubung dengan kumpulan lainnya adalah yang membuat internet menjadi internet.

An interconnected network.

Dan bagaimana untuk kesimpulan dalam menjalankan Mastodon (dan Pixelfed!) dalam setahun ini? Normal, very normal. Dan kabar buruknya gue jadi lebih banyak membuka Hacker News daripada sosial media seperti Mastodon, Pixelfed, LinkedIn, Instagram, dkk (good news, I guess?)

Jika belum terlalu familiar ataupun belum terlalu mengerti dengan Mastodon, berikut video perkenalan tentang Mastodon di YouTube:

Sebagai penutup, sekali lagi, welcome to Fediverse.

And maybe it’s time for Mastodon’s eternal september.

Welcome to Fediverse.

— @rizaldy@edgy.social