Gue tidak ingat pastinya kapan pertama kali menonton anime, dan dulu gue cuma tertarik menonton film yang bergenre dokumenter. Di tahun 2018 gue rasa gue mulai cukup aktif menonton anime karena iseng, dan dari berbagai judul yang gue senangi, ada satu-satunya judul dari film anime yang sangat berkesan sekalipun gue selalu tidak menyukai *ending *nya: 5 centimeters per second (Byōsoku Go Senchimētoru).

Anime tersebut cukup spesial menurut gue, bahkan setiap tahun gue tonton kembali meskipun sudah hafal keseluruhan cerita dan endingnya.

Anime ini terbagi menjadi 3 episode: “Kisah sakura”, “Angkasawan” dan “5 centimeters per second”. Maksud “5 centimeters per second” sendiri adalah tentang kecepatan bunga sakura jatuh, yang mana menjadi percakapan pembuka dari film ini.

Pada dasarnya anime ini adalah tentang jarak. Terkait jarak apa yang dimaksud, gue rasa setiap penonton akan menafsirkannya sendiri.


Tahun 2011 lalu gue menginjak kelas 2 SMP. Gue agak sedikit canggung berkomunikasi dengan lawan jenis karena kurang terbiasa, mengingat dulu gue sekolah di asrama putra dan terpisah jauh dengan asrama putri. Dan komunikasi langsung hanya terjadi di sebuah masa bernama perpulangan.

Entah bagaimana awalnya gue kenal dengan seseorang dan memiliki satu kebetulan: intinya sama-sama tinggal di satu daerah, dan hanya dipisahkan oleh gang. Gue rasa dia adalah teman cewek yang paling pertama yang benar-benar sebagai teman. Mungkin satu-satunya juga. Dia juga cewek pertama yang pernah ke rumah orang tua gue, lalu masuk ke rumah yang sepi itu, dan… mengobrol tentang apapun. Hanya mengobrol.

Waktu berlalu dan dia pindah ke SMA yang tidak lagi tinggal di asrama. Jika dulu pemisahnya adalah jarak antara kampus putra dan putri, sekarang terpisahkan oleh 1 kota dan 1 kabupaten. Komunikasi masih terjalin berkat kehadiran Facebook dan Twitter pada masa itu. Meskipun jarang berkomunikasi, gue selalu menantikan pesan masuk darinya di Facebook. Dan juga sebutannya di Twitter, saat Retweet masih menggunakan prefix RT.

Pada dasarnya gue dan dia tidak sedekat itu. Pada saat itu pun dia memiliki pasangan yang mana adalah teman gue, dan gue tidak pernah mempermasalahkan itu. Pernah gue menjadi penyebab putusnya hubungan mereka, meskipun bukan gue alasannya. Dan hubungan gue dan dia serta hubungan gue dan teman gue baik-baik saja pada saat itu, for the record.

Gue tidak pernah menganggap dia spesial, begitupula mungkin sebaliknya. Singkat cerita, waktu berlalu dan kehidupan tentunya berlanjut. Kita sama-sama lulus SMA, gue melanjutkan studi di Bandung dan dia melanjutkan studi di sebuah kota di tengah pulau Jawa.

Meskipun begitu, sudah tidak ada komunikasi lagi diantara kita.

Mungkin semenjak SMA kelas 12 jika ingatan gue masih bagus.


Di semester 6 gue sudah mulai bekerja di salah satu startup di kota Bandung. Gue mulai mengabaikan urusan perkuliahan pada saat itu.

Pada suatu ketika, gue bersama teman SMA gue yang sama-sama kuliah di Bandung memutuskan untuk pergi ke Jogja. Saat tinggal di Bandung, Jogja selalu menjadi destinasi liburan andalan yang mungkin karena berada di sisi kanan pulau Jawa, dan kita terlalu bosan untuk pergi ke sisi kiri pulau Jawa.

Saat tiba di Jogja, kita selalu tidak memiliki tujuan. Mungkin teman gue punya: berurusan dengan masa lalunya. But anyways, entah bagaimana kita mencoba menghubungi seseorang yang sedang tinggal di Jogja untuk tujuan studi, seseorang yang namanya sudah sangat familiar, seseorang yang menjadi topik utama dari tulisan ini. Lalu gue dan teman gue berencana bertemu dengan dia di sebuah tempat kopi yang berada di daerah Caturtunggal.

Sekitar jam 19 seseorang tersebut datang. Tidak banyak yang berubah selain sifat dan tampilannya yang lebih dewasa. Walau awalnya sedikit kaku, kekakuan tersebut perlahan terkikis mengingat cara dia berbicara dan bercanda masih seperti yang gue tahu.

Lalu suasana mulai sepi, dan jam menunjukkan sudah waktunya untuk pergi. Jadwal kereta gue besok pagi dan pada hari itu tidak menyewa penginapan karena tanggung. Lalu kita berpindah ke tempat nongkrong yang buka 24 jam. Sekitar tengah malam gue tidur di tempat tersebut dan ketika terbangun gue melihat dia masih terjaga sampai pagi dan melihat teman gue yang sama-sama mati.

Singkat cerita, gue kembali ke Bandung. Kita berterima kasih karena dia sudah berkenan untuk menemani khususnya untuk tidur di jam 10 pagi. Meskipun tidak banyak yang terjadi, pertemuan itu menjadi awal dari sesuatu yang tidak pernah dimulai.

Sesuatu yang membuat gue tersenyum sinis ketika mengingatnya, sesuatu yang membuat gue merasa menjadi orang paling goblok sedunia setiap melihat foto yang ada di galeri.

Foto-foto tersebut tersimpan di folder bernama “2017” di setiap penyimpanan yang gue miliki.

Foto yang tidak pernah dibagikan, apalagi dipublikasikan.


Ada sebuah kejadian yang membuat gue dan dia ke kondisi seperti tidak terjadi apa-apa. Kondisi seperti, tidak pernah kenal sama sekali. Kejadian tersebut adalah salah satu kejadian yang paling gue sesali dalam hidup karena sifat kekanak-kanakan gue yang terlalu mementingkan ego daripada akal sehat pada saat itu.

Setelah berbulan-bulan berlalu, kondisi berubah menjadi tertutupnya akses kontak dari yang sebelumnya hanya putus kontak. Akun sosial media dan perpesanan instan gue diblokir, yang mana karena keinginan pasangannya pada saat itu setelah mencari tahu. Entah apa yang terjadi, sampai hari ini gue tidak terlalu peduli.

Waktu berlalu dan gue tidak pernah berhasil memiliki teman cewek lagi selain teman kantor. Hubungan selalu berakhir menjadi hubungan “spesial” yang pada akhirnya berakhir menjadi tidak saling kenal dan tidak spesial lagi. Tidak jarang gue kepikiran seseorang itu, dan hanya sebatas kepikiran. Ingin rasanya gue bercerita tentang tololnya kisah percintaan gue yang sudah-sudah sebagaimana dulu ketika dia bercerita didepan warung saat orang-orang sedang tarawih.

Disaat sebelum kejadian yang disebut di awal paragraf terjadi, 23 Februari 2018 adalah waktu ketika kita “sama-sama tahu”. Pada saat itu sebenarnya gue merasa bingung, tidak tahu apa yang benar dan salah, bahkan tidak peduli tentang benar dan salah itu sendiri. Gue intinya tidak mengerti apa yang tidak gue mengerti. Jika mungkin gue melakukan hal yang salah atau benar, setidaknya mungkin gue akan mengerti sesuatu pada saat itu.

Sialnya, gue menjadi mengerti karena tidak melakukan apapun.


Bagaimana rasanya cinta tak terbalas? Gue kurang tahu, tapi yang gue yakin, jika terasa sakit, yang lebih menyakitkan gue rasa adalah cinta tak tersampaikan. Cinta tak terbalas gue rasa hanya akan dipenuhi oleh amarah, berbeda dengan yang tak tersampaikan yang dipenuhi oleh penyesalan, setidaknya itu yang gue tahu.

Berbeda rasanya ketika target dari amarah itu sendiri adalah diri kita dan bukan orang lain. Bertahun-tahun rasa penyesalan itu masih ada, setiap teringat sebuah gedung di jalan Dipatiukur; setiap melihat orang tua, setiap melihat Ekologi, setiap melihat DoTA 2. Tidak sering, hanya, terasa sangat mengganggu ketika terjadi.

Pada akhirnya gue hanya akan mengerti saat semuanya sudah sangat terlambat.

Gue tidak pernah menyesali keputusan yang gue ambil, tapi seringkali menyesali saat tidak membuat keputusan sama sekali. Terlepas yang benar atau salah, membahagiakan ataupun menyakitkan: setidaknya gue membuat keputusan.

Walau gue benci mengakuinya, sepertinya dia adalah cinta pertama gue. Dia adalah seseorang yang tidak pernah ingin gue miliki karena sebuah alasan. Dia adalah yang menjadi salah satu penyebab pertengkaran gue setiap kali menjalin hubungan dengan yang sudah-sudah karena namanya sering tersebut secara tidak sengaja. Dia adalah, dia—cukup.


Tahu bagaimana ending dari anime 5 centimeters per second? Dua orang menoleh kebelakang dan mengharapkan sesuatu yang mereka yakini akan terjadi. Pandangan mereka tertutup oleh sebuah benda bergerak yang berguna untuk mempertemukan orang-orang, dan ketika benda tersebut hilang dari pandangan, yang tersisa hanyalah satu orang. Seseorang yang, hanya menunggu dan tidak bergerak maju. Yang berharap apa yang diyakini benar, tanpa menyadari jika waktu terus berjalan. Tanpa melakukan ataupun mengucapkan apapun.

Mungkin lo bingung, apa hubungannya dengan semua ini? Mengapa gue membagikan cerita ini? Mengapa gue menceritakan sesuatu yang tidak pernah ingin gue ceritakan kepada siapapun? Mengapa lo membaca ini? Mengapa hari ini?

Untuk menutup tulisan ini, ada 1 kata yang ingin gue utarakan setiap tanggal 17 Mei: HBD, wish you all the best.

Dan untuk tambahan, ada satu kata yang belum sempat gue utarakan di minggu ini: HWD, wish you all the best.


Kadang gue mempertanyakan, bagaimana rasanya jatuh cinta? Yang bukan karena penasaran apalagi pelarian? Yang mengucapkan “I love you” bukan hanya karena kata itu yang ingin dibaca ataupun didengar. Cinta yang tidak dibagi apalagi dibeli, yang suci seperti melati atau hati.

Akankah gue merasakannya setidaknya satu kali lagi di lain hari?