Tidak jarang gue mendapatkan pertanyaan “di Bandung kerja?” setiap kali ngobrol dengan orang yang belum dikenal. Untuk memastikan apakah sebatas pertanyaan basa-basi atau memang ingin tahu beneran, biasanya gue jawab dengan “iya nih” dan kalau obrolan masih berlanjut tentang kerjaan, baru gue coba jelasin tentang kenapa gue di Bandung.

Asal gue adalah Banten, tempat kerja gue sekarang di Jakarta, dan tempat tinggal sekarang adalah Bandung. Gue kira di masa pandemi ini akan lebih mudah menjelaskannya dengan iming-iming kerja remote, ternyata pertanyaan selanjutnya kebanyakan adalah tentang “kenapa kerja dari Bandung dan bukan Banten?”

Yang membuat gue berpikir juga.

Kenapa masih di Bandung?

2015

Jika kembali ke 2015, alasan gue berada di Bandung adalah kuliah. Sekitar tahun 2017 gue melepaskan diri dari kehidupan perkuliahan dan fokus di dunia profesional dari menjadi freelancer sampai menjadi karyawan tetap di salah satu *startup *di Bandung yang bergerak di bidang edtech.

6 tahun berlalu, dan gue sudah tidak kuliah serta sudah tidak bekerja di perusahaan yang berada di Bandung lagi. Personally gue sangat menyukai Bandung baik dari masyarakatnya, *vibes *nya, serta ekosistem IT nya yang tidak berbeda jauh dengan yang ada di ibukota. Serta, gaya hidup disini gue rasa tidak terlalu mengarah ke hedonisme, yang gue rasa cocok dengan diri gue secara pribadi.

Alasan mengambil pekerjaan di Jakarta daripada Bandung tentu saja karena alasan duit, money is always the answer. Dari awal negosiasi gue meminta untuk kerja *remote *dari Bandung—bahkan dari sebelum WFH menjadi hal yang umum pada saat ini–dengan beberapa pertimbangan yang dua belah pihak setujui,

Beruntungnya, tempat kerja gue sekarang tidak terlalu mempermasalahkan kenapa gue ingin bekerja dari Bandung–setidaknya sampai sekarang–sekalipun itu karena alasan pribadi. Dari awal negosiasi, yang gue inginkan bukanlah WFH, melainkan *remote nya. *Sejujurnya (untuk sekarang) gue tidak menyukai WFH. Tantangan dari WFH adalah kesepian, dan tidak jarang ketika sedang merasa kesepian itu berdampak terhadap produktivitas.

Dengan kerja secara remote, berarti gue bisa bekerja dimana saja selagi ada perangkat & jaringan internet. Dari coworking space? Starbucks DU? THR dago? Malang? Seminyak? Kali Urang? You name it.

Sebelumnya ketika gue sedang merasa jenuh, tempat favorit gue untuk bekerja adalah dari Starbucks DU, karena sebuah alasan. Biasanya gue berdalih karena alasan internet, yang meskipun somewhat valid tapi ada alasan lain yang lebih tidak masuk akal.

Dan sekarang, bahkan untuk *dine in *saja tidak bisa. Bukan hanya di Starbucks, melainkan hampir di segala tempat yang menyediakan kursi dan meja.

Kejenuhan adalah hal yang lumrah dirasakan, dan sekarang gue hanya bisa menikmatinya karena tidak ada pilihan lain yang gue yakin gue tidak sendiri merasakan hal yang serupa.

Sempat terlintas untuk pulang ke Banten dan tinggal bersama keluarga, atau pindah ke Jakarta dan berada di lingkungan baru. Meskipun tidak menjamin rasa jenuh tersebut akan berkurang ataupun hilang, setidaknya gue berada di kondisi yang berbeda dibandingkan dengan suasana selama 6 tahun yang sampai hari ini gue rasakan.

Proses perpindahan sendiri gue rasa relatif tidak sulit.

Barang-barang yang gue miliki & gunakan tidak terlalu banyak dan gue yakin sekali bawa pun jadi. Namun entah mengapa pikiran ingin pindah tersebut menjadi hanya sebatas pikiran sesaat, bukan sesuatu yang harus gue tanggapi dengan serius.

Dan pertanyaannya adalah mengapa masih tidak ingin beranjak?

2021

Gue rasa bukan sekali gue berbagi pikiran tentang Bandung & usaha untuk berpindah dari kota ini. Gue tidak memiliki keluarga di Bandung dan teman-teman pun sudah pada lulus dan melanjutkan kehidupannya yang kebanyakan tidak memilih Bandung sebagai tempat mengadu nasib.

Setidaknya ada 4 teman gue yang masih berada di Bandung, yang mana 2 karena melanjutkan S2; 1 baru saja lulus dan yang 1 lagi bernasib sama dengan gue. Dan yang gue yakin, alasan gue masih berada di Bandung bukanlah karena masih ada 4 teman gue tersebut.

Lalu apa?

Apakah ada yang tau?

Jika gue pulang dan tinggal bersama keluarga, gue tidak perlu memusingkan tagihan listrik & kosan serta tidak perlu mengkhawatirkan besok akan makan apa, karena itu secara teknis bukanlah tanggung jawab gue.

Jika gue pindah ke Jakarta, gue bisa bertemu dengan lingkungan & suasana baru serta pengalaman-pengalaman baru yang mungkin tidak bisa gue dapatkan di Bandung.

Apakah karena gue sudah nyaman berada di zona ini?

Bisa jadi, tapi gue yakin tidak senyaman itu.

Lalu apa, sekali lagi?

Apakah ada sesuatu yang membuat gue tidak ingin beranjak dari Bandung?

Atau mungkin seseorang?

Entahlah, gue rasa tidak ada.

Dan semoga gue sedang tidak berbohong.

Urusan Pribadi

Gue curiga sama diri sendiri kenapa gue menambahkan kalimat *Dan semoga gue sedang tidak berbohong *diakhir paragraf diatas. Jika memang seseorang tersebut adalah pacar, gue tidak memilikinya. Jika mantan, mantan gue tinggal di Jakarta malahan. Jika gebetan, gue rasa t9dak  memilikinya juga.

Teman? Gue yakin gue gak seloyal itu sampai harus terus berada disini hanya karena teman gue masih ada yang berjuang di kota ini.

Lalu apa, sekali lagi?

Sebelumnya, alasan gue berada di Bandung adalah karena alasan pribadi.

Apakah itu hanya *ngeles *karena gue males pindah? Atau memang karena beneran ada urusan pribadi? Urusan pribadi gue sudah selesai karena gue sudah tidak melanjutkan kuliah lagi.

Tapi, apakah benar urusan pribadi gue sudah selesai?

Jika misalnya beneran sudah, pertanyaannya adalah kenapa gue masih disini?

Dan jika misalnya ternyata belum, pertanyaannya adalah urusan mana yang belum selesai?

Gue tidak memiliki hutang, kontrak, atau apapun yang menggambarkan perjanjian yang mengharuskan gue harus tetap berada disini.

Atau mungkin gue ternyata memiliki hutang? Atau kontrak? Jika iya, pertanyaannya adalah: kepada apa?

Atau mungkin lebih tepatnya: kepada siapa?

Come on, riz.

Gue yakin ada sesuatu yang lo sembunyikan.

Penutup

Gue pernah deket dengan beberapa orang yang tinggal di Bandung. Mungkin 3x? Pertama, dengan teman sekolah gue dulu yang kuliah disini juga, tapi tidak gue lanjut karena alasan pribadi. Kedua, dengan seseorang yang gue kenal dari dating app, masih sama dengan alasan pertama. Terakhir, dengan seseorang yang gue kenal dari suatu tempat, tidak berlanjut karena dia belum bisa berpindah dari mantannya, lalu dia kembali dengan mantannya, dan gue pun menerimanya dengan damai.

Jika memang alasannya adalah karena seseorang, siapa seseorang itu?

Oke di *reminder *gue memang ada sebuah janji gue akan melakukan sesuatu untuk seseorang yang berada di Bandung, tapi sesuatu tersebut tidak mewajibkan gue untuk harus terus tinggal di Bandung.

Lalu karena apa?

Sepertinya gue sudah tidak memiliki jawaban lagi untuk menjawab pertanyaan mengapa harus terus tinggal disini.

Mungkin dengan berpindah gue bisa mengatur ulang kehidupan gue, menemukan bagian diri gue yang belum ditemukan, mendapatkan pengalaman baru, bertemu orang baru, dan menjalin cerita dengan orang baru terlepas cerita tentang apapun itu, meskipun secara pribadi gue belum siap untuk membuka diri kembali kepada orang baru yang ingin masuk ke kehidupan gue.

Meskipun gue sudah tidak memiliki jawaban tentang mengapa harus terus tinggal disini, gue belum memiliki jawaban tentang mengapa gue harus pindah. Hal-hal tadi yang gue sebut hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang ribetnya gue belum bisa menjadikan hal-hal tersebut menjadi sebuah jawaban.

Apakah gue harus mengkhawatirkan ini?

Apakah gue harus mencari jawaban yang tepat?

Apakah gue harus bersikap bodo amat seperti biasa dan menikmati aktivitas dari bangun tidur sampai beranjak tidur lagi dengan suasana yang sama sejak 6 tahun lalu?

Gue pernah bilang kalau Bandung–bagi gue–cocoknya menjadi tempat untuk pulang, bukan untuk mengadu nasib. Karena untuk pulang, tempat yang dituju besar kemungkinan adalah sesuatu yang biasa disebut dengan rumah.

Banyak hal yang terjadi di rumah, dan besar kemungkinan, kita tidak ingin membawa hal-hal yang terjadi diluar rumah khususnya untuk sesuatu yang bersifat negatif.

Pekerjaan yang melelahkan biar ditinggalkan di tempat kerja, karena rumah adalah tempat untuk beristirahat. Teman kerja yang sedang tidak bersahabat biar ditinggalkan di tempat kerja, karena rumah adalah tempat yang berisi orang-orang yang kita senangi sampai kapanpun. Emosi terhadap beberapa pengguna jalan yang menyebalkan biarkan ditinggalkan di jalan, karena rumah adalah tempat yang tentram & damai.

Gue tidak memiliki rumah, mungkin belum. Gue saat ini menyewa sebuah ruangan untuk tempat singgah & istirahat yang mana ruangan itu biasa disebut dengan kosan. Secara teknis gue tidak pernah pulang karena memang gue tidak kemana-mana. Hanya berpindah tempat yang berjarak ~20cm antara kasur, kamar mandi, dan kursi yang menghadap ke layar monitor sialan ini.

Sepertinya sekarang gue mengerti.

Mungkin yang gue inginkan saat gue mengetik ini bukanlah alasan untuk tetap singgah ataupun untuk bisa pindah, melainkan gue sedang rindu dengan sebuah aktivitas yang bernama pulang.

Segala sesuatu–baik yang positif ataupun negatif–terjadi di ruangan sialan ini dan terus gue bawa yang mungkin setidaknya sampai gue bangun tidur di keesokan harinya.

Tapi gue yakin aktivitas pulang tersebut bukanlah tentang kembali ke sebuah bangunan yang disebut dengan rumah, melainkan kepada seseorang, yang mungkin disebut dengan rumah juga.

Rumah, sebuah tempat beristirahat; yang berisi orang yang disenangi, serta bersuasana tentram & damai.

Sebuah tempat yang bisa membuat energi negatif menjadi positif, sebuah tempat yang memiliki cinta dihampir setiap sudutnya, sebuah tempat yang menjadi tempat pertama sekaligus menjadi tempat terakhir setiap hari.

Gue rindu sesuatu yang biasa disebut dengan rumah.

Atau mungkin bukan sesuatu, melainkan seseorang.

Sekalipun gue tidak tahu pastinya rumah yang mana, ataupun rumah milik siapa.

Atau mungkin sebenarnya gue tahu?

Waktu sudah menunjukkan jam 01:51 WIB, udara sudah mulai dingin dan suasana sudah mulai sunyi. Waktunya untuk menutup jendela dan mengakhiri hari di kasur yang menghadap ke tembok sialan yang setiap pagi menjadi pemandangan pertama gue.

Tempat ini untuk sekarang adalah rumah gue, jika rumah yang gue maksud adalah ke sesuatu.

Jika memang ternyata maksudnya adalah ke seseorang, gue yakin seseorang tersebut adalah diri gue dan bukan orang lain.

Dan jika memang kalimat diatas benar, berarti baru kali ini gue merindukan & mencintai diri sendiri, secara harfiah. Yang mana gue rasa bukan gue banget, atau bisa saja mungkin gue baru saja menemukan bagian dari diri gue yang lain, yang sebelumnya belum gue temukan.

So, yeah. I lo… fuck.

Maybe I miss the times when I used to write about my day every time I wanted to close the day while someone narrated it verbally.

Then someone reads it.

And we talk about it, when we start the day.

Time to open the door, again?