Can’t believe I still alive to this day, so, congrats, I guess?

Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam merayakan sesuatu, termasuk dalam merayakan hari keharian. Gue tidak terlalu peduli dengan hari kelahiran karena hanya mengingatkan diri gue bahwa gue semakin bertambah usia yang *in another way *artinya berkurang usia juga.

Namun gue jadikan hari pertambahan umur ini sebagai *checkpoint *dalam hidup gue yang berarti waktunya ber-muhasabah atau introspeksi terhadap apa yang sudah gue lakukan; alami dan pelajari di kehidupan gue pada umur sebelumnya.

Tidak jarang gue melakukan instrospeksi dari yang sifatnya bulanan—yang sempat gue bagikan ke publik, dan sekarang gue jadikan pribadi—sampai ke tahunan yang biasanya dilanjutkan dengan membuat resolusi.

Sampai hari ini gue masih bingung dengan tujuan hidup gue—disamping untuk beribadah kepada Tuhan—namun sekarang gue memiliki jawaban sementara untuk pertanyaan terkait tujuan hidup gue: untuk membahagiakan orang-orang yang menaruh kebahagiaan pada diri gue, semaksimal mungkin.

Karena gue bahagia melihat orang yang bahagia karena gue merasa bahagia.

Disini gue ingin berbagi sedikit tentang pelajaran yang gue dapet ketika di umur 23 yang bergantung dengan kondisi pada saat ini. Semoga ada sesuatu yang dapat diambil untuk siapapun yang membaca ini.

Tidak ada yang lebih baik

Gue seperti memikirkan ulang konsep baik-buruk di usia 23. Yang mana, gue rasa, sebenarnya tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk ketika membandingkan 2 hal atau lebih, mereka hanya menawarkan *trade-off *yang berbeda.

Ambil contoh, misal dalam konsumsi minuman: teh atau kopi.

Mana yang lebih baik, teh atau kopi?

Jawabannya sederhananya, tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk, gue rasa hanya menawarkan *trade-off *yang berbeda.

Atau yang lebih realistis: langsung bekerja atau menjadi sarjana lalu bekerja.

Mana yang lebih baik?

Ketika memilih langsung bekerja, gue menghemat waktu; melakukan pembelajaran secara praktikal, menjalin relasi yang lebih potensial, dsb.

Ketika memilih menjadi sarjana terlebih dahulu, gue menghabiskan waktu ~4 tahun di kuliah; melakukan pembelajaran dari teori (dan pastinya kurikulum), menjalin relasi untuk kepentingan pribadi dan profesional, dsb.

Gue rasa tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk, hanya memiliki *trade-off *yang berbeda aja, kan? Sampai hari ini gue tidak melanjutkan perkuliahan gue, mungkin sekarang semester 12. Sampai hari ini gue bekerja sebagai Software Engineer di salah satu perusahaan yang bergerak di industri data di Jakarta dengan *benefit *yang lumayan untuk ukuran tidak memiliki gelar sarjana; hidup sendiri, dan tinggal di Bandung. Gue yakin jika gue dulu fokus kuliah dan lulus pada tahun 2020, untuk bisa seperti sekarang mungkin memakan waktu 2-3 tahun yang berarti di sekitar 2023.

Apakah gue menyesal memilih jalan ini?

Untuk sekarang gue rasa jawabannya ‘tidak’ dari yang sebelumnya ‘mungkin’.

Karena sekarang gue sudah sadar bahwa arti dibalik *“ini pilihan yang terbaik” *berarti “ini pilihan yang memiliki trade-off yang mampu lo lalui dan miliki sekalipun untuk seumur hidup”.

Konsep takdir

Gue lupa kapan—dan gak gue save gambarnya—dari sebuah *meme *yang ada di internet gue menemukan sebuah ilustrasi yang paling mudah dipahami untuk menggambarkan konsep takdir, sekalipun *meme *tersebut bersifat, meme.

Gue tidak menyimpan gambarnya dan terlalu males untuk membuat ilustrasinya, intinya, misal, begini, bayangkan lo dihadapkan 3 jalur:

  1. Jalur pertama adalah lo memilih menjadi Software Engineer sebagai jalur karir
  2. Jalur kedua adalah lo memilih menjadi Arsitek sebagai jalur karir
  3. Jalur ketiga adalah lo memilih menjadi PNS sebagai jalur karir

Terlepas jalur mana yang lo pilih, 3 jalur tersebut adalah takdir lo.

Takdir bukan berarti seperti didikte lo udah ditetapin jadi A, pada umur sekian B, dan nanti C, melainkan ok bro gue kasih lo 3 pilihan, setiap pilihan yang lo pilih memiliki trade-off yang berbeda dan itu rahasia, choose yours, wisely.

Nah ini menjawab pertanyaan seperti kalau gue meninggal pada umur 30 karena X apakah sudah takdir? Tentu saja. Tapi kalau gue hidup sehat dari umur 25, lalu ternyata gue meninggalnya di umur 69 apakah takdir juga? Tentu saja.

Ketika gue sekolah dulu, gue belajar kalau takdir ada 2 meskipun gue lupa sebutannya apa dan terlalu malas untuk mencari: Yang bisa diubah dan tidak bisa diubah.

Contoh takdir yang tidak bisa diubah adalah kelahiran, gue tidak bisa memilih untuk terlahir di Jepang dan dari keluarga tajir melintir yang tidak perlu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi besok.

Kalau yang bisa diubah mah sederhana lah dan sudah pada familiar juga gue rasa.

Menariknya, ada 3 hal yang tidak jarang dianggap sebagai takdir yang tidak bisa diubah:

  • Kematian
  • Jodoh
  • Rezeki

Merasa familiar dengan kalimat {jodoh,kematian,rezeki} sudah diatur?

Gue setuju, tapi tidak 100%. Ya, kematian; jodoh dan rezeki sudah diatur, tugas gue selanjutnya—sebagai seseorang yang percaya dengan Tuhan yang menjadikan takdir sebagai rukun iman keenam—adalah memilih jalurnya.

Setiap yang bernyawa pasti mati, terlepas di umur berapa dan karena apa, itu adalah usaha gue.

Setiap manusia tercipta berpasang-pasangan, terlepas dengan dan jodoh gue siapa, sekali lagi, gue yang harus memperjuangkan.

Setiap kita terlahir dari keluarga dan lingkungan yang berbeda-beda, terlepas gue terlahir kaya dan mati sebagai orang miskin ataupun sebaliknya, sekali lagi, gue yang harus memperjuangkan.

Segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sampai hari ini, itu sudah menjadi takdir yang kita pilih untuk diperjuangkan. Bahkan sekalipun tidak memperjuangkan apapun, itu adalah takdir, yang kita pilih.

Mungkin lo bisa membantah dengan membawa ‘lauhul mahfudz’ yang sederhananya adalah tentang sebuah kitab/buku yang mana segala yang terjadi di kehidupan manusia sudah dicatat oleh Tuhan. Masalahnya, kita hanya tahun konsep ‘catat-mencatat’ sebatas di level manusia, bukan tuhan, dan akal kita tidak akan pernah sampai untuk mencernanya.

Dan ini adalah fitur dari umat yang beragama, yang mana tidak semua bisa dicerna oleh logika. Setiap yang bernyawa pasti memiliki keterbatasan, dan itu sudah takdir, karena, kita bukanlah tuhan.

Sebagai penutup bagian ini, diri gue di 3 tahun mendatang adalah takdir yang gue pilih dan perjuangkan dari hari ini. Jika gue di umur 27 nanti tinggal di Swiss ataupun di Singapura, menjalin hubungan dengan X ataupun Y, sudah stabil secara finansial ataupun belum, itu adalah takdir yang gue pilih & perjuangkan, bukan takdir yang memang sudah menjadi keputusan absolut jika di umur 27 nanti gue blablabla, sekalipun itu mungkin tentang kematian.

Dan gue ingin merencanakannya pada 3 tahun sebelumnya, bukan di waktu ketika itu terjadi.

Kejenuhan

Jenuh adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, dan di kondisi seperti sekarang yang mana sedang pandemi karena sebuah virus ber-inisial C, hampir setiap lapis masyarakat memikirkan ulang tentang cara mereka hidup.

Dari cara bekerja, bersosial, beribadah, dsb.

Bahkan ada sebutan “New Normal” yang sederhananya hal-hal yang dulu normal dilakukan sekarang tergantikan karena itu sudah tidak normal lagi, semoga, setidaknya, sampai pandemi ini berakhir.

Gue tinggal relatif jauh dari keluarga, dan di tempat tinggal gue sekarang, gue tidak memiliki keluarga disini. Untuk mengatasi kejenuhan, biasanya gue keluar kamar; menikmati suasana, dan mengunjungi tempat umum dari *coffee shop; *taman, jalanan kota, sampai tempat minum untuk yang sudah legal age. Terkadang pergi keluar kota juga jika mau.

Aktivitas tersebut pada tahun ini dianggap bersifat tidak normal, karena normalnya orang-orang berdiam dirumah dan menjalani berbagai aktivitas disana dari aktivitas pribadi ataupun profesional.

Dan ini membuat gue memikirkan ulang dalam mengatasi kejenuhan.

Biasanya gue dalam mengatasi kejenuhan ada 3 kategori yang gue bisa gue pilih:

  • Mencari suasana (tempat, orang-orang, pemandangan) baru
  • Bersenang-senang
  • Berada di kondisi yang gue tidak memiliki kontrol penuh (perjalanan di bis/kereta/pesawat)

Yang mana, 3 hal diatas selalu mengarah ke ‘tempat umum’ yang memiliki bendera merah pada kondisi saat ini.

Dan terpaksa gue memikirkan ulang cara mengatasi kejenuhan ini dengan membuat diri gue senyaman mungkin untuk tetap berada di penjara bernama rumah, untuk kepentingan bersama & khususnya diri gue sendiri.

Pertama, gue membiasakan diri untuk menikmati film. Gue tidak terlalu suka menonton film, dan jika sebuah keharusan, pasti itu film dokumenter ataupun film random untuk menyembunyikan suara di kamar gue iykwim.

Akhir-akhir ini gue mencoba menikmati sebuah film ber-genre Anime. Ketika SD dulu gue senang nonton film kartun, dari yang non-japan seperti dari *channel *Nickelodeon (i.e: SpongeBob); Cartoon Network (i.e: Ben 10), Disney (i.e Mickey fucking Mouse) dan dari jepang yang meskipun gue lupa *channel *nya apa tapi yang gue ingat adalah film: Yugioh, Inuyasha, Hunter x Hunter, Detective Conan, Ragnarok, Dragon Ball, dsb.

Did I mention yuyu hakusho?

Anyway, sejak SMP-SMA gue tidak bisa menonton film khususnya kartun karena jenis sekolah yang gue ambil, dan sejak itu gue sudah tidak terlalu antusias dengan hal-hal berbau film. Hmm oke kecuali bokep.

Dan karena menonton film dokumenter technically untuk mendapatkan inspirasi, jadi gue sekarang mencoba untuk menikmati (kembali) film ber-genre Anime, for fun.

Sejauh ini anime yang sudah gue tonton tidak terlalu banyak: Your name, sword art online, 5 cm per seconds, your lie in april, the garden of words dan yang terakhir violet evergarden, dan gue butuh rekomendasi khususnya untuk anime yang tidak memiliki sad ending HAHAHA.

Lanjut, kedua: bermain game.

Gue tidak pernah menyebut diri gue gamer, tapi gue pertama kali tertarik dengan *programming *adalah ketika berurusan dengan Cheat Engine dan membuat “trainer” gue sendiri yang dilanjutkan dengan pertama kali serius belajar *programming *dengan mempelajari sumber kode salah satu *backdoor web shell *yangterkenal dan pernah berjaya pada masanya.

Konsol pertama yang gue mainkan adalah ehm tendo (gue rasa NES KW sekian) dan game favorit gue adalah Final Fantasy! Dilanjutkan dengan bokap dapet kesempatan buat bawa komputer kantor ke rumah yang game favorit gue adalah Virtua Cop (dan road rash!) lalu PS1 (favorit gue adalah Final fucking Fantasy VII dan harvest moon) dan game-game di N-Gage QD (The Sims ftw!)

Cerita dikit, gue keinget pertama kali ketika bokap gue membeli komputer pribadi buat di rumah. Dan itu pertama kalinya gue kenal internet dan mengetahui kalau game bisa dibeli dalam bentuk CD. Sejak ada PC di rumah hampir setiap bulan gue meminta buat beli *game *baru dari yang 1 CD berisi ~100 *game *kek di tendo sampai ke game yang paling gue inget sampai sekarang: Unreal Tournament.

Long story short, karena SMP-SMA gue terpisah dari game juga meskipun sesekali gue masih main *game *kalo lagi kabur izin keluar sekolah cuma buat main Ayodance, Seal, ataupun Counter strike.

Dan sejak SMA gue sudah tidak tertarik dengan game. Gue tidak pernah memiliki PS2, dan kalau lagi keluar pun gue memilih pergi ke warnet daripada ke rental PS. Game di HP pada waktu itu hanyalah Bounce dan di PC rumah cuma ada Cat vs Dog dan hangaroo.

Lalu pas kuliah, gue coba main game lagi: DoTA, mengingat gue dulu juga sering main Warcraft III (TFT dan RoC), Age of Empires II dan Rise of Nations. Tapi tidak terlalu lama karena gue masih belum terlalu menikmati game multiplayer karena terbiasa melawan komputer.

Dan sekarang, gue mencoba menikmati bermain game kembali!

Sejauh ini gue bermain Fortnite (flashback Unreal Tournament walaupun UT bukanlah battle royale), Stardew Valley (flashback Harvest Moon) dan Genshin Impact (ini gue rasa kek main SEAL online, tapi gue masih jarang main ini).

Anyway, game yang gue mainkan haruslah bersifat menenangkan ataupun menyenangkan untuk dimainkan mengingat tujuan gue bermain *game *adalah untuk mengatasi kejenuhan.

Apakah berhasil? Idk, tapi sejauh ini gue merasa sangat nyaman di kamar menghabiskan waktu bermain Fortnite yang diakhiri dengan bermain Stardew Valley, lalu tidur.

‘Terlalu’ selalu memiliki *trade-off *yang buruk

Kita kembali lagi ke topik pembahasan.

Yang gue yakin, segala sesuatu yang bersifat ‘berlebihan’ bahkan bisa gue sebut sebagai sesuatu yang buruk.

Sekalipun hal berlebihan tersebut adalah aktivitas yang baik.

Misal, terlalu baik dengan orang lain. Terlalu peduli dengan orang lain. Terlalu memikirkan orang lain. Terlalu mementingkan orang lain. Terlalu menyayangi diri sendiri. Terlalu fokus dengan tuhan. Dan berbagai hal lainnya yang diawali dengan terlalu.

Dan yang gue percaya adalah melakukan secukupnya aja.

Yang berarti, kita harus memiliki *threshold *untuk sesuatu yang kita lakukan.

Misal, dalam konteks beragama. Menyembah tuhan cukup dilakukan 5x sehari, meskipun kita bisa melakukannya lebih dari itu dengan mengamalkan ibadah yang bersifat sunnah, tapi kehidupan bukan hanya tentang *habluminallah, *melainkan ada *habluminannas *juga dan gue tidak hidup di zaman ketika para Nabi dan Rasul hidup.

Atau contoh yang lebih realistis lagi: Memperdulikan orang lain.

Seberapa besar gue peduli dengan orang lain? Entahlah, bahkan tidak jarang gue mencoba membantu orang lain untuk lebih berkembang lagi yang mungkin baik juga untuk dia.

Yang menjadi masalah adalah ketika gue melakukannya secara berlebihan sampai gue lupa klo ada hal lain yang harus gue fokuskan juga karena kehidupan tidak hanya tentang 1 hal.

Oke oke ini rada rancu, intinya, lakukan secukupnya dan ketahui *boundary *lo.

Melakukan hal yang berlebihan bukan hanya tentang ekspektasi, umpan balik atau apapun itu yang bersifat merugikan diri sendiri, namun lebih ke untuk kebaikan orang lain juga.

Yang paling gue khawatirkan adalah ketika gue/mereka sampai memiliki ketergantungan satu sama lain, dan ini gue rasa kurang baik mengingat manusia tidak akan pernah hidup selamanya.

Dan melakukan sesuatu secukupnya, gue rasa dapat menghindari kejadian itu, terlepas dalam konteks apapun itu.

Terakhir, sebagai penutup bagian ini, gue yakin “lebih dari cukup” tidak sama dengan “berlebihan”. In my nerd view, lebih dari cukup adalah tentang iterasi (yang mana bersifat *incremental) *sedangkan berlebihan sebatas tentang perulangan. Seperti, lo bisa terus 1000x menampilkan ‘hello world’ namun dalam iterasi, lo bisa menampilkan 1000x ‘hello world’ juga, tapi, mungkin, di 1000 bahasa pemrograman yang berbeda.

Serupa, tapi tak sama.

What’s next?

I personally hate this kind of question.

Seinget gue waktu pas umur 23 gue ingin menjadi pribadi yang lebih kalem dan santai, dan gue rasa gue sudah melakukannya dengan baik.

Di umur 24 ini gue ingin menjadi pribadi yang lebih kalem lagi dengan melihat sesuatu secara objektif sebisa mungkin serta menyeimbangkan penggunaan antara logika dan perasaan.

Selain itu gue ingin mencoba (lagi) membuka diri kepada orang lain setelah melewati berhasil-gagal-berhasil-gagal lagi di tahun ini karena masalah kepercayaan dan kenyamanan.

Dan yang tidak kalah penting: lebih memperhatikan kesehatan mental, khususnya di kondisi seperti ini.

Kesehatan mental berpengaruh ke kebahagiaan yang berpengaruh ke produktivitas dan menjadi lingkaran setan. Tidak bahagia tidak produktif dan tidak produktif membuat tidak bahagia. Dengan memelihara kesehatan mental yang cukup gue rasa bisa mengurangi kemungkinan terjadinya tidak bahagia ini mengingat hidup tidak selalu tentang kebahagiaan.

Penutup

Selama 24 tahun gue tidak pernah membelikan diri gue kue ulang tahun, jadi hari ini gue beli New York Cheese Cake yang menjadi kue favorit gue ketika lagi kerja di *coffee shop. *Ditambah dengan Caffe Mocha yang mana minuman favorit gue! Dan juga, selama 24 tahun gue tidak pernah membelikan kado untuk diri gue sendiri. Anggap sebagai self-reward tahunan karena setiap hari *technically *gue melakukan this *self-reward thing *karena sudah kebutuhan. Jadi gue habis membeli Nintendo Switch, yeay! Gue sudah lama ingin membeli konsol ini, tapi masalah gue adalah gue tidak ingin terjebak di ekosistem si Nintendo yang hanya sebatas game. Meskipun Steam Deck terlihat menjanjikan (yang technically sebuah komputer portabel) tapi gue urungkan karena gue tidak butuh komputer lainnya.

Mungkin 2022 rilis di Indo, dan kalau emang harus banget banget beli Steam Deck gue rasa tinggal beli gak, sih? Hahaha.

Sebelumnya gue ingin membelikan Macbook Pro dengan prosesor M1 untuk diri gue sebagai kado, tapi karena gue rasa gue gak butuh-butuh amat laptop pada saat ini (terlebih gak bisa kerja dari luar) dan juga NUC sialan gue udah cukup, jadi gue urungkan dan membeli Switch yang gue rasa bisa menjadi pelarian setelah jam kerja.

Kode gue adalah SW-3437-7810-2124 jika ada yang peduli, dan display name gue di fornite adalah docker ps -aq, dan mungkin jika ingin co-op di stardew valley kita bisa membuat VLAN entah melalui Zerotier ataupun Wireguard.

Sebagai penutup, tahun kemarin gue merayakan hari kelahiran gue dengan seseorang, dibelikan kado oleh seseorang, dan menikmati dua kotak pizza sambil meneguk sebotol minuman yang gue rasa sempurna untuk merayakan hari kelahiran mengingat gue masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup di umur 22.

Sekarang gue merayakannya sendiri, dengan diri gue sendiri, dibelikan kado oleh diri sendiri dan menikmati kue sendiri. Tanpa minuman alkohol, gue di umur 24 hanya ingin minum socially dan itupun harus hanya golongan A.

Tidak ada yang bisa menduga kehidupan nantinya akan seperti apa, bukan?

And that’s it.

Terima kasih sudah mendengarkan cerita gue, karena pada saat ini media untuk bercerita adalah blog gue ini.

Happy birthday, Riz.

Wish you all the best.