Gue personally kurang suka mendengar kata “influencer” karena pada dasarnya hanyalah sebutan lainnya untuk “pengiklan” dan gue selalu males dengan apapun yang berkaitan dengan iklan. Arti influencer sederhananya adalah pemberi pengaruh, bagian menariknya adalah apa pengaruh yang diberikan?

In some cases, konteks pengaruh tersebut merujuk ke “to inspire” as in “something to consider” but in most cases, merujuk ke “call to action” as in “something to do”.

Di tulisan ini gue ingin berbagi tentang bagaimana proses “influence” ini bekerja berdasarkan pehamanan gue, jika kamu berniat untuk menyewa jasa influencer ataupun ingin menjadi seoarng influencer, mungkin bisa jadikan tulisan ini sebagai salah satu rujukan.

How information flow

Pemikiran ini gue dapat ketika gue mempelajari lebih dalam tentang iklan dan apa maksud dan tujuan utama dari iklan tersebut.

Mari kita beralih sejenak ke era dimana untuk mendapatkan informasi yang lebih luas satu-satunya sumber adalah dari koran. Iklan sudah ada sejak penerbitan koran sudah mainstream di Indonesia. Jenis iklannya beragam, namun yang pasti varian iklan akan selalu mengikuti budget yang disediakan.

Salah satu kelemahan koran adalah informasi yang dibagikan “ahead of time” dan tidak real-time. Seperti, informasi banjir di Serang kemungkinan besar akan diterbitkan di keesokan harinya. Radio adalah salah satu media yang bisa menyiarkan informasi tepat waktu, namun konsumsi radio terbatas hanya menawarkan audio.

Lalu masyarakat beralih ke TV, tempat dimana informasi dapat disajikan secara real-time dan menggunakan audio-visual dalam menyiarkan informasi. Di televisi terdapat beberapa saluran dan penonton dapat memilihnya sesuai preferensi mereka sendiri. Proses pemindahan saluran sering terjadi ketika pengguna mulai melihat iklan.

Jika di koran proses melihat iklan terjadi secara opsional dan hanya oleh mereka yang menginginkannya saja, di TV (dan radio) penonton tidak memiliki 100% kontrol penuh dalam melihat iklan yang ditampilkan.

Terdapat keterbatasan dalam penyebaran informasi melalui TV dan radio ini. Pertama, informasi dikurasi oleh siapapun itu dan yang ditayangkan kemungkinan besar hanyalah informasi yang berpotensi memiliki peminat yang banyak.

Kedua, informasi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di Jepang pada jam 18.18 waktu Indonesia barat? Semoga berhasil mendapatkanya di televisi!

Ketiga, informasi dibatasi oleh kebijakan. Ingin menonton film ‘layar lebar’ dari televisi? Berharaplah ke siapapun yang bertanggung jawab di program ‘Bioskop Trans TV’.

Dan sekarang, informasi menjadi lebih mudah diakses berkat sebuah teknologi bernama Internet. Bagian menarik dari Internet adalah, berbeda dengan saluran TV/radio yang bergantung dengan frekuensi sinyal, di Internet—pada dasarnya—tidak ada yang mengatur distribusi informasi yang ada di internet.

Selagi memiliki ‘paket internet’, siapapun dapat mengakses apapun meskipun terkadang terdapat ‘censorship’ dari penyedia layanan internet, namun itu topik lain.

Cara masyarakat berperilaku menjadi berubah berkat kehadiran internet. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana proses beli laptop baru tidak perlu repot-repot pergi ke toko lalu pulang, cukup tunggu dan sampai, namun terjadi secara efektif.

Karena hal itu, internet menjadi tempat yang menjanjikan.

Pasar beralih ke internet yang biasa disebut dengan E-Commerce.

Bioskop beralih ke internet yang biasa disebut VOD (Video On Demand) platform.

Koran? Tidak perlu disebutkan, sudah banyak situs berita bertebaran di internet.

Tentu konsumen informasi tidak sebatas ingin mengonsumsi berita, terkadang mereka membutuhkan informasi lain yang bersifat ‘menghibur’ seperti film; drama, komedi, dsb juga.

Ada sebuah kutipan yang berbunyi ‘no news is good news’ yang secara tidak langsung berita kemungkinan besar berisi informasi yang tidak kita harapkan. Siapa juga yang berharap adanya berita gempa bumi?

Berdasarkan poin diatas, beberapa orang ada yang lebih tertarik untuk mengonsumi ‘entertainment’ daripada ‘news’ di media yang menyiarkan informasi. Seperti, gue menyalakan TV untuk menonton di Netflix, bukan untuk mengetahui ada kasus kejahatan apalagi di Indonesia.

Nah, salah satu bagian menarik dari entertainment ini adalah pada aktornya, disamping alur ceritanya, ya.

Kamu akan kepikiran Leonardo Dicaprio ketika memikiran Titanic, ataupun kepikiran Titanic ketika memikirkan Leonardo Dicaprio. Tidak heran, jika ada pertanyaan “Siapa pemeran Titanic?” salah satu jawabannya adalah “Leonardo Dicaprio”.

Yang maksudnya, secara tidak langsung, film Titanic dan aktor Leonardo Dicaprio saling membangun brand awareness mereka sendiri. Hasilnya? Saling menguntungkan.

Nama Leonardo Dicaprio naik dan film Titanic laku dijual.

Leonardo Dicaprio mendapatkan bayaran dan film Titanic mendapatkan keuntungan.

Jika kepikiran mengapa aktor dibayar mahal, besar kemungkinan karena keuntungan yang akan didapat akan lebih besar dari itu, jika menggunakan perhitungan ekonomi dasar.

Oke, sekarang kita ke topik inti. Tidak jarang yang menjadi pemeran di iklan adalah seorang aktor. Selain karena mereka sudah ahli dalam bidangnya, juga karena mereka memiliki popularitas. Kita ingin melihat gambar agnes monica sedang memegang freshcare di kabin pesawat karena kita tahu siapa itu agnes monica. Coba yang megang freshcare tersebut adalah orang random, kemungkinan kita akan menanyakan siapa dia.

Selain itu, sekali lagi, mereka memberikan pengaruh. Hampir jarang iklan berbunyi “yuk beli ini” secara langsung, tapi dampaknya membuat kamu ingin membeli brand X ketika melihat varian freshcare—karena yang kepikiran olehmu adalah agnes monica.

Jika sudah mendapatkan maksud dari bagian ‘How information flow’, mari kita lanjut ke ‘How advertising works’ sebelum menuju ke topik utama.

How advertising works

Iklan bertebaran dimana-mana. Di baliho jalan, di video, di sidebar, di segmen setelah lagu ketika menggunakan Spotify gratis, di metaverse, dimanapun.

Bisnis iklan masih laku karena mereka (penyedia iklan) masih menjual produk, yakni produknya adalah sesuatu yang biasa disebut dengan ‘pengguna’ (gratis). Seperti, jika produk utama dari Facebook adalah sebuah sosial media, no, produk utamanya adalah pengguna Facebook yang dapat menggunakan Facebook tanpa biaya — dan mereka menjual informasi tersebut ke siapapun yang ingin beriklan di platform mereka.

Setidaknya ada 2 hal yang ingin dituju oleh pengelola bisnis ketika mengiklankan produknya: Membangun brand awareness dan menaikkan penjualan.

Mari kita bahas brand awareness terlebih dahulu.

Brand Awareness

Ada penyedia layanan untuk berinvestasi reksa dana melalui sebuah aplikasi seluler, nama aplikasi tersebut adalah Bibit. Pertanyaannya ada dua:

  1. Apa yang dipikirkan orang-orang ketika mendengar kata ‘Aplikasi untuk investasi reksa dana?’
  2. Apa yang dipikirkan orang-orang ketika mendengar kata ‘Bibit’?

Brand awareness berperan disitu.

Bibit menggandeng Raditya Dika sebagai Brand Ambassador. Sudah banyak orang yang mengetahui siapa itu Raditya Dika, baik dari buku yang pernah dia tulis ataupun film yang pernah dia sutradari.

Raditya Dika sudah memiliki banyak ‘penonton’ yang biasa disebut dengan ‘pengikut’ ataupun ‘pelanggan’, yang sederhananya, jika misalnya Raditya Dika menggelar suatu pentas, dia tidak perlu terlalu memusingkan siapa saja yang akan menontonnya nanti, karena yang ‘siapa yang butuh’ disini seharusnya sudah bukan Raditya Dika lagi.

Setelah Bibit dapat menjangkau penontonnya Raditya Dika tersebut, harapannya tentu saja adalah agar beberapa penontonnya Raditya Dika menjadi pengguna Bibit.

Sehingga dua pertanyaan diatas setidaknya sudah bisa dijawab oleh siapapun yang memiliki pertanyaan tersebut.

Sales boosting

Pernah mendengar 12.12? Atau Waktu Indonesia Belanja?

Di kampanye tersebut, mereka menghadirkan dua grup penyanyi korea yang cukup populer. Pertanyaan pertama, mengapa grup penyanyi korea dan bukan tim engineering mereka saja? Dan pertanyaan kedua, untuk apa?

Pertanyaan tersebut hanya intermeso, mari kita fokus ke topik intinya.

Setiap kampanye dengan iming-iming promosi tujuan utamanya tentu saja adalah untuk meningkatkan penjualan. Kenapa tanggal 12 ataupun 25, pastinya itu adalah strategi masing-masing mereka.

Pertanyaan kenapa menggunakan grup penyanyi korea, tentu saja itupun bagian dari strategi mereka. Secara teknis tidak ada hubungan langsung sama sekali antara platform E-commerce dan grup penyanyi korea, beda jika konteksnya BTS menjual official merchandise nya eksklusif di Tokopedia sehingga Tokopedia bisa menggunakan slogan ‘BTS jualan disini’ sebagai andalannya.

Ada banyak penggemar BTS, dan mungkin maksud dari Tokopedia menggunakan BTS dalam kampanye tersebut adalah untuk menjangkau pengguna (ataupun calon pengguna) Tokopedia yang gemar dengan BTS. Jadi sederhananya bila tidak ada yang ingin melihat kampanye Waktu Indonesia Belanja, setidaknya yang ingin mereka lihat adalah BTS nya.

Langsung ke topik inti, jika Tokopedia bisa menghabiskan sebegitu banyak uang untuk kampanye tersebut, seharusnya ROI yang diharapkan pun setidaknya lebih besar atau mendekati dari apa yang telah mereka keluarkan tersebut.

Gue personally gak terlalu peduli pengen tanggal berapa harus belanja, ataupun pengen siapapun itu yang ada di sebuah kampanye. Dan ini sesederhana berarti gue bukan target pasar mereka dari kampanye tersebut.

Lalu siapa target pasar Tokopedia untuk kampanye tersebut?

Kamu seharusnya sudah mengetahui jawabannya ;)

The so-called Influencer

Sekarang kita di topik utama.

Mari kita mulai dengan pertanyaan Siapa yang disebut dengan influencer?

Secara teknis, siapapun bisa disebut dengan influencer just if dia bisa memberi pengaruh. Seperti, jika kamu menganggap sendiri dirimu sebagai ‘Programming influencer’ dan ada orang-orang yang terpengaruh untuk menggeluti programming karena kamu, then, you are. Congrats.

Di praktiknya, rata-rata orang-orang yang disebut dengan influencer ini adalah orang-orang yang memiliki banyak penonton, bahkan dari ketika penonton tersebut masih sedikit.

Penonton tersebut menjadi penonton si influencer ini kemungkinan besar karena mereka menyukai apa yang si influencer ini lakukan. Senang berdonasi? Senang memproduksi lagu? Senang menerbitkan buku? Apapun.

Aktivitas yang mereka lakukan tersebut biasa disebut dengan ‘berkarya’. Salah satu definisi ‘karya’ sederhananya adalah ‘hasil perbuatan’, dan untuk pertanyaan terkait apa yang mereka buat, jawabannya selalu tergantung.

Gue rasa tidak ada influencer yang tidak berkarya, sekalipun karya tersebut adalah sebuah potret dari kerupawanan ciptaan tuhan seseorang, which is fine, just business as usual.

Pola nya hampir sama: Gelar pentas dan biarkan siapapun dapat melihatnya.

Ambil contoh Youtube sebagai panggungnya. Kamu suka bermain game? Gelar pentas yakni dengan mengunggah videomu ketika bermain game, dan biarkan orang lain menontonnya.

Sekalipun tanpa redaksi ‘Klik Like dan Subscribe’ di setiap akhir video, gue rasa mereka pun akan melakukannya bahkan tanpa instruksi.

Pertanyaannya, bukan hanya kamu seorang yang mengunggah video ketika bermain game. Ada banyak yang melakukan serupa, namun mengapa mereka harus memilihmu?

Untuk pertanyaan tersebut, itu topik lain, just a friendly reminder.

Oke lanjut, misal jika ada seseorang yang membeli dan bermain Elden Ring setelah menonton videomu, you can officially call yourself an ‘Influencer’ terlebih bila ada yang bilang ‘bang gw main game elden ring gegara lu nih”, misalnya.

Sekarang, panggung tersebut sudah cukup banyak. Sebut saja ada Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, Snapchat, Reddit, Vimeo, dsb. Biasanya hal yang mereka bagikan adalah aktivitas yang mereka senangi alias hobi, meskipun hobi tidak harus dimonetisasi, seseorang pernah bilang bahwa *“Pekerjaan paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar” *which most likely leads us to the creator economy — which is nice.

Monetisasi pada dasarnya hanyalah aktivitas menjual.

Ketika kamu mengunggah video dan menampilkan iklan disana, kamu bukan menjual videomu ke Youtube ataupun ke pengiklan. Melainkan kamu menjual informasi penontonmu di Youtube ke pengiklan, dan kamu mendapat royalti dari hasil penjualan tersebut — which is just business as usual.

Jika kembali ke topik, apa yang sebenarnya dijual oleh influencer?

And no, mereka tidak menjual produk yang mereka endorse, before you asking.

Endorsement

And yes, produk utama dari influencer ini adalah endorsement, dan bukan sesuatu yang mereka endorse. Sederhananya, target pasar mereka adalah yang ingin meng-endorse, bukan penonton mereka. Just like Facebook to advertisers not Facebook to users.

Pertanyaannya adalah, apakah teknik tersebut efektif?

Jawaban singkatnya adalah, jika tidak efektif, harusnya teknik tersebut sudah tidak laku.

Jawaban detailnya, mari kita bahas dibawah.

Trust

Jika pembeli membeli sesuatu karena kebutuhan ataupun keinginan, apa yang menjadi alasan pembeli membeli brand X dan bukan Y?

Sederhananya, karena kepercayaan.

Pencinta Indomie memilih Indomie daripada Sedaap dkk karena mereka percaya Indomie lebih nikmat.

Ini sedikit berat, mari kita bahas sedikit tentang kepercayaan.

Dalam mempercayai sesuatu, setidaknya memiliki 3 tingkatan:

  1. Percaya karena mengetahui dari seseorang
  2. Percaya karena melihatnya seseorang
  3. Percaya karena merasakannya langsung

Jika gue bilang ‘Indomie itu enak’, dan kamu percaya akan hal itu karena kamu percaya dengan gue, berarti kamu berada di level pertama.

Jika kamu sudah melihat langsung bagaimana orang-orang makan Indomie dan bilang bahwa Indomie itu enak, berarti kamu berada di level kedua.

Jika kamu sudah merasakannya langsung bahwa Indomie enak, berarti harusnya tidak ada keraguan dan kamu berada di level ketiga.

Endorsement pada dasarnya hanyalah ‘word of mouth’ marketing dengan gaya. Karena secara teknis itu berada di level pertama dan masalahnya adalah tentang apakah kamu (yang meng-endorse) benar-benar merekomendasikan sesuatu tersebut atau tidak. Tapi sekali lagi, it’s just business as usual.

Kembali ke topik, ‘seseorang’ memilih ‘siapa’ salah satunya adalah karena faktor kepercayaan.

Seperti, seseorang membeli iPhone nya Apple daripada Pixel nya Google karena mereka percaya akan value yang diberikan si iPhone tersebut meskipun secara teknis hanyalah sebuah ponsel dengan fitur yang kurang lebih sama.

Seperti, seseorang membeli iPhone di cuancuan.id (not affiliated) daripada tempat lain karena mereka percaya dengan Arief Muhammad, salah satu orang dibalik brand tersebut.

Sekarang begini, gue bilang bahwa “gue beli Macbook Air M1 di toko X di Tokopedia dan bener-bener puas banget dengan harga yang cukup kompetitif! Klo pengen beli Macbook Air M1 juga buat ngoding JavaScript, cobain deh beli di toko X, sellernya ramah pisan”. Jika kamu (anggap saja):

  1. Baca tulisan ini
  2. Lagi butuh laptop baru buat ngoding
  3. Bingung milih laptop yang mana
  4. Percaya gue

Besar kemungkinan kamu akan tertarik dan mengunjungi produk yang gue tawarkan tersebut, sekalipun tidak membeli, karena itu udah beda urusan.

Endorsement dianggap dapat menjalin hubungan yang lebih emosional karena pemasaran melibatkan orang yang kamu (anggap aja) percaya.

Namun sayangnya, jika hobi kamu review laptop dan berharap menghasilkan sesuatu dari aktivitas tersebut dari tawaran endorsement, perjalanannya masih panjang. Sangat panjang. Baik untuk endorsement dalam bentuk paid promote, ataupun paid endorse.

Ada alternatif lain yang sedikit lebih mudah dilakukan.

Dan alternatif ini banyak digunakan oleh ex “Crazy Rich” yang ada di Indonesia.

Affiliate

Monetasi via afiliasi lebih terjangkau daripada endorsement yang mana relatif elit. Siapapun dapat menjadi “affiliator”, yang mana sebutan tersebut sekarang relatif berkonotasi negatif.

Skema pembayaran dari afiliasi ini adalah komisi, umumnya 10% dari harga produk. Jika produk yang kamu rekomendasikan seharga 30,000, kamu mendapatkan 3,000 per-transaksi yang berasal dari link yang mengandung kode afiliasi kamu tersebut.

Di Tokopedia, per tulisan ini dibuat, komisinya sebesar 10% dengan maksimal komisi 100,000 per-produk **plus **hanya bisa 5x per-hari per-produk. Sederhananya, bila kamu merekomendasikan produk seharga 1,300,000, dan ada 6 orang yang membeli produk tersebut di hari yang sama, berarti kamu seharusnya mendapatkan komisi 500,000 pada hari tersebut. Jika kamu bisa mendapatkan 500,000 untuk satu produk dalam sehari, dalam 30 hari seharusnya kamu bisa mendapatkan 15,000,000, secara pasif.

…yang anggap jika kamu berhasil merekomendasikan 3 produk dan berhasil mencapai batas, berarti kamu mendapatkan 1,500,000/hari/produk yang dalam 30 hari seharusnya bisa mendapatkan 45,000,000 dari 3 produk tersebut.

Secara pasif.

Tanpa modal langsung.

Terlihat mudah?

Tentu saja tidak.

Tapi kita tidak akan pernah tau sampai kita terus mencobanya sampai lihai, bukan?

And yes, komisi up to 70% totally doesn’t make any sense.

Building audience

Ini adalah bagian terakhir sebelum penutup.

Salah satu rujukan paling favorit gue tentang membangun audiens ini adalah sebuah artikel yang berjudul 1,000 True Fans.

Anyway, satu hal yang perlu diketahui dalam membangun audiens ini adalah, sekali kamu dikenal sebagai X, maka kamu akan terus dikenal sebagai X. Ini seperti kontrak penjualan jiwa kita.

Klo kamu dikenal karena sering mengunggah video tutorial programming, sampai kapanpun kamu akan dikenal sebagai orang tersebut oleh audiensmu. Jika, let’s say, kamu somehow berhenti mengunggah video tersebut alih-alih menjadi kanal vlog, mereka harusnya akan mempertanyakan mengapa mereka masih di pentas tersebut karena mereka relatif menjadi penontonmu karena video tutorial programming yang kamu unggah.

Beberapa kreator memiliki 2 kanal yang membahas hal berbeda, just in case untuk meng-segmentasi dua penonton yang sama namun dengan minat berbeda.

Gue pernah lihat kondisi yang terjadi pada salah satu grup band favorit gue yakni Bring Me The Horizon. BMTH dikenal sebagai band metal, dan ketika BMTH merilis lagu yang tidak terdengar seperti metal, beberapa fans nya ada yang mempertanyakan kelanjutan band tersebut bahkan ada yang sampai kecewa, karena merasa BMTH yang pada saat itu bukanlah BMTH yang dia “kenal”.

Tapi tentu saja beberapa fans nya ada yang terus mendukung BMTH. Mungkin mereka tidak memusingkan genre apapun yang dibawakan BMTH, as long as itu adalah BMTH, berarti itu BMTH, yang mereka gemari.

Poin utama dari essay 1,000 true fans tersebut gue rasa seperti: terus berikan yang terbaik kepada para penggemar sejati, sekalipun hanya 1,000 dari 100,000.

BMTH akan terus dikenal oleh para penggemar sejati tersebut sebagai Bring Me The Horizon, bukan sebatas sebagai grup band beraliran metal ataupun grup brand beraliran pop.

Penutup

Tulisan ini adalah hasil dari sebagian pembahasan yang gue baca dari buku Side Hustle: From Idea to Income in 27 Days nya Chris Guillebeau. Gue kepikiran untuk mendapatkan passive income tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama, dari bila mempertimbangkan berdasarkan kapasitas dan prioritas gue sekarang, sepertinya mendapatkan komisi dari afiliasi adalah usaha yang paling realistis yang bisa gue lakukan untuk mendapatkan pemasukan pasif.

Tujuan dari tulisan ini adalah personally adalah untuk memastikan apakah gue benar-benar mengerti dari pembahasan yang gue pelajari tersebut (sorry not sorry not telling you at first, just business as usual, you know), dan jika kebetulan memberikan insight ataupun memberikan motivasi untuk melakukan apapun itu yang ada disini, then, you can thank me later.

Dan jika ragu apakah akan berhasil atau tidak, just start anyway.

You will know.

You will learn something.

You will found 10,000 ways that won’t work.