Pada suatu hari gue dibawa ke Masjid Agung Pandeglang sama bokap, jika tidak salah ingat, itu ketika bokap masih bekerja di instansi yang dekat dengan masjid tersebut dan gue sedang menimba ilmu di sebuah sekolah yang berada di daerah Pandeglang. Disekitar masjid tersebut terdapat pohon kurma, namun tak berbuah. Bokap gue bilang, intinya, pohon kurma itu bisa berbuah jika berada di iklim yang kering seperti Timur Tengah ataupun Afrika Utara, sedangkan Indonesia adalah negara dengan iklim tropis yang relatif lembap.

Di hari yang lain gue pernah memelihara sebuah kaktus pemberian dari teman kantor gue dulu. Kaktus tersebut gue rawat sebaik mungkin meskipun pada akhirnya mati juga.

Gue menjadi kepikiran dua hal diatas ketika sedang berjalan pulang dari daerah Kuningan ke kos meskipun gue tidak ingat persisnya apa yang menjadi pemicunya. Dari dua hal diatas, ini membuat gue kepikiran: *dari tidak berbuahnya pohon kurma dan matinya kaktus yang sudah gue rawat, apakah itu ‘salah’ si kurma/kaktus atau mungkin karena sesuatu lain? *And here we are.


Ada beberapa tren yang mungkin masih menjadi sesuatu sampai hari ini, yakni menyebut dirinya “ex-something” sebagai identitas. Dan yang umum ditemukan di industri teknologi seperti “ex Apple”, “ex Meta”, “Xoogler”, atau bahkan: “Ex-Silicon Valley”. Personally gue tidak memusingkan hal tersebut sampai ke pembahasan menjadi subjektif hanya karena sebuah latar belakang yang entah bagaimana tingkat relevansinya.

Anyway, seiring berjalan waktu, gue menjadi sedikit mengerti mengapa tren tersebut ada, disamping untuk mendapatkan pengakuan. Ada alasan mengapa sebuah tempat menjadi identitas dari seseorang ataupun sesuatu.

Adalah lingkungan.

Bukan hanya nama dan letak geografis yang membedakan Silicon Valley dengan Bukit Algoritma, San Francisco dengan Kemang, ITB dengan ((kampus gue yang tidak akan disebut namanya)) dan mungkin Jakarta dengan Serang.

Gue akan berbagi singkat tentang apa yang gue alami.

Pertama, dari pengalaman bersekolah 6 tahun di sekolah asrama. Ini mengisolasi muridnya dari dunia (lingkungan) luar. Kasarnya, di sekolah ini, kita melakukan ini karena semua orang melakukan ini. Seperti, kita bangun pagi sebelum adzan berkumandang karena semua orang disini melakukan itu, baik terpaksa ataupun sudah terbiasa.

Kedua, dari pengalaman tinggal beberapa tahun di Bandung dengan tinggal beberapa bulan di Jakarta. Di Jakarta, gue jadi terbiasa kemana-mana menggunakan transportasi masal daripada kendaraan pribadi, dari Transjakarta sampai Jakarta MRT. Selain itu, gue menjadi lebih sering bertransaksi non-tunai untuk berbagai kebutuhan, sekalipun untuk bayar *laundry *ataupun membayar nasi goreng depan kos.

Ketiga, dari bergaul dengan sesama perantau. Ini agak sensitif, tapi gue rasa alasan orang-orang meninggalkan kampung halaman memiliki tujuan yang sama: untuk mengejar sesuatu. Sesuatu yang mungkin tidak ada disana, di kampung halamannya.

Dari tiga hal diatas, sadar-tidak sadar, lingkungan berperan. Lingkungan membentuk seseorang ataupun sesuatu. Lingkungan seharusnya yang membuat budaya; prasarana, sudut pandang, pengalaman, komunitas, terjadi.

Sialnya, lingkungan memiliki seleksi. Alasan mengapa tidak semua orang berkesempatan bekerja di Apple, Google, Meta, tinggal di SF, berkuliah di ITB, salah satunya adalah karena bukan “yang terpilih”, berdasarkan keterbatasan dan kelebihan nya.

Bukankah itu tidak adil? Tapi ketidakadilan yang membuat sesuatu menjadi adil, seperti, tidak adil bila semua orang kuliah di ITB dan tidak ada yang kuliah di UI. Benar?


Apa yang ditanyakan kepada seseorang dengan usia 25 tahun keatas? Jawabannya, selalu tergantung. Dan lingkungan turut berperan dalam pertanyaan yang akan diajukan oleh seseorang tersebut.

Di kampung halaman, umumnya adalah pertanyaan tentang pernikahan. Dalam kasus gue, alasannya, karena di lingkungan tersebut melakukan hal tersebut. Teman-teman kecil gue yang seumuran yang gue tidak ingat nama-nama nya sudah memiliki keluarga sendiri, juga, beberapa anggota dari keluarga besar gue menikah di umur tersebut. Tidak heran mengapa pertanyaan tersebut keluar dari mereka, dan itu gue rasa bukan sesuatu yang salah ataupun benar. Alasannya kebanyakan adalah “mau cari apalagi?” ataupun “mau tunggu apalagi?” dan mungkin itu pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk dicari jawabannya.

Jika tadi tentang umur, sekarang kita ambil kasus tentang karir.

Dalam dunia karir, setidaknya ada yang terobsesi dengan posisi; gaji, ataupun keamanan.

Ada yang “yang penting sesuai passion”, ataupun “yang penting gaji gue 6 figures”, dan bahkan “yang penting gue di perusahaan bonafide”. Beda cerita jika membahas tentang the so-called entrepreneur fwiw.

Terkadang, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya sekaligus dalam satu waktu. Seperti, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan gaji yang setara dengan yang dibayar startup, di perusahaan bonafide, untuk posisi yang sama ataupun lebih tinggi (as the latter provides varied benefits than money).

Mendengar dari beberapa teman gue yang sudah berkeluarga ataupun lajang, jawabannya cukup bervariasi. Yang sudah berkeluarga cenderung untuk ingin bekerja di perusahaan yang relatif stabil karena alasan yang masuk akal, dan yang lajang cenderung untuk mendaki tangga karir terlebih dahulu terlepas rentang gaji yang diterima ataupun perusahaan yang dilamar, khususnya untuk teman-teman yang baru meniti karir. Beberapa ada yang ingin memulai usaha sendiri sambil mengumpulkan modal yang ada. Dan tidak sedikit teman-teman gue yang sudah berkeluarga cenderung bekerja di startup, karena alasan yang cukup masuk akal, iykyk.

Anyways, 98% di keluarga besar gue bekerja sebagai ASN. Gampangnya, misal jika ada 10 anggota keluarga, hanya 2 orang yang bekerja sebagai wiraswasta ataupun pengusaha ataupun pengangguran. Dan orang tua gue keduanya adalah ASN.

Waktu awal bekerja, orang tua gue mendorong untuk dapat bekerja di instansi pemerintahan. Karena, mungkin, semua orang disini melakukan itu? Setiap sekian waktu, orang tua gue meminta slip gaji gue, dan biasanya mereka mendorong gue untuk menjadi seperti mereka setelah menerima slip gaji gue. Pada suatu waktu, mereka berhenti mendorong gue setelah gue memberikan slip gaji terbaru gue, entah karena mempertimbangkan angkanya atau karena sudah lelah memberi saran ke anaknya yang keras kepala ini. Omongan untuk mempertimbangkan menjadi ASN sudah reda, dan gue memiliki kontrol penuh terhadap karir yang ingin gue pilih.

…meskipun memikul beban untuk terus meyakinkan bahwa jalan yang gue pilih adalah yang benar untuk gue.

Jika orang tua gue bukan ASN, mungkin mereka akan mendorong gue ke jalan yang lain. Mungkin agar menjadi pengusaha jika mereka pengusaha, atau menjadi pemuka agama jika mereka pemuka agama. Tidak heran mengapa ada “keluarga dokter”, “keluarga seniman”, “keluarga kiayi”, dll karena salah satunya adalah faktor lingkungan tersebut, yang dalam konteks ini adalah lingkungan keluarga.

Someone has to break the chain—or not.

Terkadang, warisan dinilai dengan apa yang diwaris dan siapa yang mewaris.

Terlepas warisan apapun itu, gue rasa, yang paling berharga adalah memiliki kesempatan untuk memilih.


Gue baru ingat apa yang memicu gue untuk mengingat 2 hal yang dibahas di awal ketika sampai di paragraf ini, yang somehow tidak berkaitan dengan buah kurma ataupun kaktus.

Melainkan tentang anak, ketika gue melihat sebuah keluarga berada di bis yang sama menuju arah Ragunan. Entah dari sudut pandang “pembuat” anak (is it ethical to call it so?) yang biasa disebut sebagai orang tua atau sebagai seorang anak itu sendiri.

Jika suatu hari gue berkeluarga, lalu memiliki penerus, gue kepikiran apa yang gue harapkan dari si penerus tersebut? Mungkin ini terlalu jauh, dan jawabannya tidak harus hari ini, tapi ini menganggu pikiran gue. Jika gue tidak mengharapkan apapun, maka apa tujuan gue memiliki penerus nanti? Dan tidak mungkin dianggap sebagai ‘kecelakaan’ yang terdengar kurang etis bahkan tidak relevan.

Ini berkaitan dengan sebuah konsep tentang ‘anak berbakti’, ‘anak durhaka’, ‘gagal menjadi orang tua’, dan ‘gagal menjadi anak’. Gue merasa menjadi bagian dari pemerannya setelah segala hal yang terjadi di masa lalu. Gue akan coba gambarkan beberapa dilemanya: jika menuruti keinginan ataupun harapan orang tua, dia menjadi anak berbakti. Jika dia menuruti keinginan ataupun harapan nya sendiri, dia menjadi ‘anak durhaka’ jika bertentangan dengan yang dimiliki si orang tua. Apakah tugas orang tua adalah mendukung apa yang si anak ini inginkan, atau membuat si anak mendukung apa yang orang tua inginkan?

Gue tidak ingin membuka luka masa lalu, tapi teringat anyway. Orang tua gue sempat bilang bahwa mereka seperti gagal dalam mendidik gue, dan gue selalu menyangkal bahwa itu bukan salah mereka. Mencari siapa yang salah-benar tidak merubah apapun juga. It still hurts, though.

Kembali ke cerita si kaktus, apakah kaktus gue mati adalah kesalahan si kaktus tersebut?  Apakah karena air yang gue siram kurang? Atau kelebihan? Atau apakah karena udaranya kotor? Atau kurang mendapatkan sinar matahari? Atau apakah memang karena si kaktus tidak mempunyai motivasi untuk hidup?

Tentu manusia berbeda dengan kaktus, manusia memilki akal dan perasaan.

Mencari siapa yang salah dan benar tidak merubah apapun, tapi kita seharusnya setuju bahwa itu bukan kesalahan si kaktus. Atau kembali ke cerita si pohon kurma, apa kita perlu menyalahkan si pohon karena tidak menghasilkan buah?

Atau, apakah kita harus setuju bahwa yang salah sebenarnya adalah yang merawat kaktus ataupun yang menanam si pohon tersebut?

Apakah si kaktus dan si pohon kurma tidak do their best???

Or… are they?

Ini membuat gue mengevaluasi, seperti, apakah gue perlu meyakini diri gue bahwa gue tidak salah atau perlu mengakui bahwa diri gue egois dan membenahi apapun yang bisa dibenahi? Mungkin kalian pernah merasakan bagaimana rasanya melawan diri sendiri dan dihantui oleh masa lalu.

Gue ada pertanyaan sebagai penutup. Apa sesuatu yang membuat gue menjadi seperti ini? Berpikiran seperti ini? Bertindak seperti ini? Mengalami seperti ini?

Tidak lain dan tidak bukan gue rasa jawabannya adalah lingkungan.

But how exactly?


Ketika gue menatap langit-langit di kamar yang sudah gelap ini, terdapat bisikan tak bersuara yang mempertanyakan: apa yang gue inginkan?

Dilema gue selalu tentang memenangkan sesuatu yang gue tahu bahwa tidak bisa memenangkan keduanya secara bersamaan. Seperti lo tidak bisa memenangkan surga dan neraka, lo hanya bisa memenangkan surga dan mengalahkan neraka, atau sebaliknya.

Dan gue selalu mempertanyakan “apakah mengalah untuk menang” bahkan adalah sebuah sesuatu?

Pelarian gue selalu tentang terbangun di sebuah tempat yang indah, damai, dan apapun yang menggambarkan sebuah utopia. Melupakan segala prinsip dan mimpi sebelumnya, lalu berpegang kepada filosofi hidup, seperti, Ikigai, mungkin. Tidak ada yang gue kenal selain diri gue sendiri. Tidak terikat kepada apapun dan siapapun. Tidak menginginkan apapun selain kebahagiaan, sampai pada akhirnya habis masa hidup dan mati dengan damai tanpa perlu dikenang siapapun dan apapun.

Terasa seperti ‘lingkungan’ yang ideal, gue rasa?

Masalahnya, gue tidak tahu apakah pelarian tersebut adalah ‘surga’ atau ‘neraka’ untuk gue. Manakah surga dan neraka antara realita yang ada dan imajinasi yang tadi? Apakah gue lebih cocok tinggal di ‘surga’ atau ‘neraka’ meskipun mungkin gue tidak dibuat dari api dan mungkin tidak ada tanah di surga?

Atau mungkin ada sesuatu lain yang menjembatani dua tempat tersebut dan gue akan cocok disana, yang mungkin itu adalah lingkungan yang selama ini gue cari?

Apapun itu, fariz tetap menjadi fariz. Dia tidak butuh apapun saat ini selain mengeluarkan apa yang ada dipikirannya yang hampir penuh, yang sayangnya ditumpahkan ke media ini. Ketika tidur, dia seperti menekan tombol flush di kloset, mengabaikan apa yang sudah dikeluarkan seperti tidak terjadi apapun disana, dan menjalani hidup seperti biasa, jika masih diberi kesempatan.

Jika suatu hari si fariz membaca ini lagi, ada 2 saran yang bisa dipertimbangkan untuk dipahami:

  • Pahami konsep mengalah untuk menang. Konsep memenangkan pertempuran dengan mengalah dalam pertandingan. Konsep… ada sesuatu yang mungkin lebih berarti daripada nafsu (TODO: is there?)
  • Pahami bahwa ego sebenarnya adalah musuh dan bukan teman. Cari tahu siapa sebenarnya ‘teman’ mu dan cari tahu mengapa ego adalah musuh.

Jika suatu hari masih tidak mengetahui dua poin diatas, cari tahu mengapa lo masih jatuh ke lubang yang sama.

Dan pertimbangkan apakah lo sebenarnya menjadikan ‘lingkungan’ hanya sebagai kambing hitam.