Pada tahun 2015 lalu di hari pertama kali kuliah, kelas pertama yang gue ikuti adalah kelas Agama. Kala itu hari Senin dan kelas dimulai pada jam 07pm. Satu pertanyaan yang paling gue inget adalah “Apa tujuan manusia terlahir ke dunia?”

Jawabannya beragam dan setiap mahasiswa mendapat kesempatan untuk membagikan jawabannya. Ada yang menjawab “untuk membahagiakan orang tua”,* “untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan keluarga”*, dan sampai ada yang menjawab “karena takdir”. Ketika sampai di giliran gue, gue menjawabnya dengan *“untuk beribadah”. *Gue tahu jawaban itu adalah jawaban yang ingin dosen gue dengar, dan bukan pertama kali gue mendapatkan pertanyaan tersebut setelah menimba ilmu selama 6 tahun di sebuah sekolah bernama pesantren.

Setelah semua mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk menjawab, dosen gue bilang kalau tujuan manusia terlahir ke dunia adalah untuk beribadah. I know right?

Pertanyaan dan jawaban tersebut seharusnya terlalu umum, pertama, karena menggunakan “manusia” sebagai subjeknya dan kedua, menggunakan “beribadah” sebagai predikatnya. Jika lebih spesifik, bagaimana pertanyaannya adalah “apa tujuan <nama lo> terlahir ke dunia?“. Of course, mungkin lo bisa berdalih “gue tidak pernah meminta untuk dilahirkan”, but what if jika ternyata lo pernah meminta itu yang mungkin dengan kapasitas yang lo punya sekarang lo tidak bisa mengingat ataupun merasa pernah memintanya?

Everything must be happens for a reason, right?

Anggap bila kita tidak memiliki alasan lain untuk hidup di dunia ini and all we do is just survive yang anggap saja karena tidak pernah meminta dan berharap untuk dilahirkan ke dunia. Makan, main, tidur, repeat, seperti beberapa makhluk hidup lainnya yang ada di dunia ini juga.

Tapi jika memang hidup hanya untuk itu, why do we need to survive anyway?

Hidup sengan, mati tak mau.

And when people die, do you know what other people say?

Rest in peace.

Like, fuck, even peace is an option.

Kebahagiaan

Ada beberapa orang yang tidak percaya akan kehadiran tuhan yang salah satu alasannya adalah karena ia tidak terlihat. Bagian menariknya adalah, apakah lo bahkan percaya dengan arwah?

Kebanyakan kita menganggap ada dan tidak adanya sesuatu berdasarkan dengan apa yang bisa kita nalar; dari melihat, mendengar, mengecap, mencium, sampai ke meraba. Dan sampai hari ini kita yakin bahwa hanya ada 2 substansi. Jika terlihat berarti ada, jika tidak terlihat berarti tidak ada. Jika tidak ada cahaya berarti gelap, jika ada berarti terang.

Hanya ada 0 dan 1 seperti sistem di angka biner, tidak ada yang ditengah, tidak ada substansi lain.

…and let’s pretend quantum computing is not a thing to this day.

Sekarang gue ingin bertanya, *“apakah lo sekarang bahagia?“. *Tebakan gue, pasti jawabannya adalah “biasa aja, netral”. Tapi setuju gak karena lo gak jawab *“gue sekarang bahagia” *berarti lo sekarang sedang tidak bahagia?

“gak bahagia-bahagia amat sih, yaa sedikit lah”

You must understand what I mean, no?

Gue pernah penasaran dengan makna kebahagiaan, dan kebanyakan orang bijak akan bilang bahwa *“kebahagiaan itu dibuat, bukan dicari”. *Of couse, setiap orang memiliki makna kebahagiaannya masing-masing berikut dengan cara untuk mengamalkannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana lo bisa tahu jika itu adalah sebuah kebahagiaan? Apakah karena senyum? Karena tertawa? Karena loncat-loncat? I know, jawaban umumnya adalah “karena senang” atau “karena gembira”, tapi, gimana cara lo menunjukkan bahwa lo sedang bahagia?

“klo terasa mah gak perlu ditunjukkan juga bakal tau sih”

You must understand what I mean, no?

Masa kecil

Waktu kecil gue teringat pernah mendapatkan hadiah yakni sebuah “mobile remote” yang diantar oleh om gue ke sekolah ketika menjemput gue. Kala itu gue masih TK, gue tidak ingat persisnya gambarannya seperti apa tapi gue masih ingat persisnya perasaannya seperti apa.

Gue bahagia, sangat bahagia. Bahkan sampai hari ini masih teringat perasaannya tersebut seperti apa.

Ketika SD kelas 3, gue masih teringat ketika di rumah pertama kali ada komputer. Sistem operasinya adalah Windows Me. Windows fucking Millenium edition. Dan yang paling bahagia pada saat itu bukanlah gue, melainkan bokap gue. Entahlah, mungkin beliau terharu karena bisa memiliki sebuah komputer di rumahnya?

Selain itu, ketika kelas 5 SD gue teringat bahwa pertama kalinya gue diantar bokap ke sekolah dengan motor Honda Win 200. Biasanya bokap nganter gue (sekaligus pulang/pergi kerja) menggunakan mobil jimny jangkrik hijau kesayangannya yang entah bagaimana sudah tidak ada di garasi rumah yang bahkan sampai hari ini. Dulu gue tidak terlalu mengerti apa-apa yang gue tau bokap cuma bilang “dibeli sama temen” yang secara teknis tidak salah tapi poinnya adalah alasan dibalik itu.

Ketika diantar ke sekolah menggunakan honda win pinjaman dari kantor tersebut, entah bagaimana gue merasa bahagia. Sangat bahagia. Bahkan sampai hari ini masih teringat perasaannya tersebut seperti apa. Jika sebelumnya gue merasakan bahagia karena gue mendapatkan mobil remote ataupun mendapatkan ada komputer di rumah, yang bagian ini adalah karena gue melihat bokap gue ketika dia memperlakukan motor tersebut. Entahlah, mungkin karena seperti terharu.

Terkadang gue kepikiran, seperti, apakah apapun yang gue dapatkan di masa kecil tersebut seperti sebuah “pinjaman” yang harus gue berikan kembali ke orang tua gue dan sekaligus menjadi “warisan” yang harus gue berikan ke keturunan gue nanti?

Oke itu terlalu kejauhan, bahkan gue belum mengetahui tanggung jawab sebagai orang tua itu apa saja.

Seiring berjalannya waktu, ada satu hal yang gue pahami dari diri gue tentang konsep sebuah kebahagiaan: gue sangat bahagia ketika melihat orang lain bahagia.

Tentu saja itu bukanlah satu-satunya cara untuk bahagia bagi gue, tapi itu menjadi cara paling favorit sekalipun modal & tradeoff nya terkadang tidak mudah.

Mimpi

Sejujurnya gue tidak ingat kapan terakhir kali gue mendapatkan mimpi ketika tidur. Termasuk ehm mimpi basah. Bangun tidur seringkali tidak tenang karena langsung mencari jam ataupun mematikan alarm dan untuk beranjak tidur pun terkadang tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi esok hari berikut dengan masalah apa yang harus dihadapi.

Ketika di pesantren dulu bangun tidur gue pasti sekitar jam 03am (karena sangat dipaksa bangun) dan ketika beranjak tidur pun tidak banyak yang harus dikhawatirkan karena dunia gue pada saat itu hanya sesempit kurang lebih 1 hektar.

Persamaannya adalah hal yang dilakukan setelah dari bangun tidur hingga beranjak tidur lagi yakni sama-sama melakukan hal sesuai dengan template. Hanya mobilitasnya saja yang sekarang lebih luas.

Gue belajar pemrograman dari ketika gue SMP. Hampir setiap hari gue kabur dari pesantren hanya untuk pergi ke warnet dan belajar pemrograman. Murni belajar, no game, not even porn. Jam favorit gue adalah ketika kelas setelah istirahat kedua (sekitar jam 10.45) sampai waktu ketika solat dzuhur di rakaat ketiga. Cara gue belajar pada waktu itu adalah dengan mengikuti forum daring, berdiskusi dengan pseudonym random dan mencetak sumber kode yang mereka berikan dan membacanya dimanapun gue bisa.

Dan itu terasa painful, sangat painful, jika dibandingkan dengan cara gue (ataupun beberapa orang) belajar pada hari ini mengingat sumber dayanya yang sangat sangat terbatas.

Gue tidak ingin merasakan hal itu lagi dan juga berharap orang lain tidak merasakannya juga. Gambarannya seperti gue ingin menjadi seorang pelaut yang tinggal di sebuah pegunungan dan tidak ada perahu satupun kecuali pohon-pohon besar yang tidak ada kampak disekitarnya.

Impian

Impian pertama gue adalah gue ingin membuat pengetahuan menjadi lebih mudah diakses oleh siapapun dan yang paling penting tidak menjadikan status sebagai batasan. Tentu saja itu bukanlah tanggung jawab gue dan mungkin dunia tidak berjalan seperti itu juga.

Tapi setidaknya gue bisa mengambil berperan dan juga mungkin di sebatas dunia gue saja. Hal yang paling gue tekankan adalah sebuah pembelajaran dari pengalaman karena pada akhirnya teori pun selalu berdasarkan pengalaman dari orang lain, bukan?

Gue yakin bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang layak dibagikan dan setiap orang berhak mendapatkan pembelajaran dari itu. I know, ini adalah tentang pertanggung jawaban dan, ya, pada akhirnya yang dipertanggung jawabkan juga manusia lagi. Tidak perlu reward seperti sertifikasi seperti gelar ataupun sertifikat untuk menandakan sebuah kelulusan, cukup pelajari; pahami, dan amalkan.

Impian kedua gue adalah gue ingin membuat orang-orang merasa lebih aman di dunia yang serba digital seperti saat ini. Dari menjaga privasi sampai mengamankan data pribadi.

Dunia digital—khususnya dunia internet—by nature adalah dunia tanpa bingkai. Siapapun bisa menjadi siapa saja dan bisa berada dimana saja. Internet adalah alam yang liar meskipun yang terlihat hanyalah sebuah dokumen web yang diakses melalui alamat domain.

Beberapa orang hidup di internet, bergantung dengan internet dan bahkan mencari makan dari internet. Produk utama dari internet adalah informasi yang mana bisa dimanfaatkan menjadi pengetahuan ataupun cara mendapatkan cuan.

Berita kebocoran data pribadi dari sebuah instansi, pembobolan akun pribadi, perilaku impulsif karena tereksploitasi, sampai ke pencurian identitas diri adalah hal yang terus gue perjuangkan di dunia internet sampai hari ini. Jika dahulu seseorang menyimpan rahasia di pikirannya sendiri, god, mungkin sekarang bertebaran di SSD dan aplikasi.

Seperti, jika ingin merasa aman dan nyaman ketika buang air kecil adalah dengan menutup pintu sampai terkunci, yang gue perjuangkan adalah menunjukkan bahwa pintu tersebut benar-benar terkunci.

Impian ketiga gue adalah ingin turut andil dalam membantu orang lain melakukan apa yang mereka sukai namun dengan porsi dan keterbatasan gue. Sederhananya, jika lo sangat suka membuat kopi dan hanya memiliki kopi nya saja, gue akan bantu untuk mendapatkan gelasnya sekalipun harus membuatnya, karena hal itu yang gue bisa. Impian yang ini sangat abstrak, luas, dan panjang. Tapi setidaknya gue memberi sedikit gambaran.

Impian keempat, dan anggap saja terakhir adalah, ehm, membuat bangga orang tua. Sudah banyak kekecewaan yang mereka dapatkan dari gue, dan karena gue rasa membuat mereka bahagia sudah lumayan sulit, jadi gue ingin setidaknya membuat mereka bangga. Gue tidak bisa dan mungkin sudah gagal untuk menjadi yang mereka harapkan, tapi gue berharap, setidaknya, pada suatu waktu, mereka akan bilang seperti “that’s my fucking son!” untuk sesuatu yang sudah gue lakukan.

Harapan

Ini sedikit silly but you know, a man can dream.

Pertama, gue ingin tinggal dan menghabiskan hidup di sebuah tempat yang membawakan kebahagiaan yang bukan sebatas gue yang membuatnya saja. Tempat tersebut misalnya memiliki pemandangan yang mengangumkan, memiliki lingkungan yang aman, ramah, tentram, dan nyaman, memiliki aturan yang tidak menyulitkan, memiliki udara yang segar, dan sangat terasa kehidupannya. I know it’s too good to be true, anggap saja poin tadi adalah “nice to have” bukan “requirements”. Tapi gue sudah memiliki daftar yang sekiranya ada yang cocok dengan beberapa poin diatas and I guess all I have to do is to pursue it?

Kedua, financial freedom. Tidak sebatas “pengen ini tanpa tapi” melainkan gue seperti ingin “growing money on trees” juga untuk berjaga-jaga di hari nanti. Kebanyakan orang pasti menyarankan investasi terlepas instrumen apapun itu, tapi jika ada pilihan lain, I’d love to know!

Ketiga, yang paling inti, hidup tenang dan bahagia. Gue rasa ini adalah harapan semua orang, dan dua poin diatas gue rasa adalah cara gue untuk mencapai poin ketiga ini.

Penutup

The wise once said *“work in silence, let success make the noise” *and while it was definitely not wrong, but failure is not embarrassing khususnya bila tidak menganggap “kesuksesan” sebagai tujuan utama.

Why does everyone dream of success as if the “survivorship bias” never existed?

Inilah salah satu alasan gue mengapa gue menerbitkan tulisan ini, tidak sebatas di aplikasi Things yang berada di perangkat gue.

Terkadang gue merasa lelah, merasa seperti apa yang gue perjuangkan terlalu jauh ataupun tidak sepadan, merasa seperti gue ingin hidup normal-normal saja dengan kondisi yang mungkin seperti saat ini.

But, damn, I only live once. And I’m very curious how’s life in Switzerland.

On another hand, gue rasa puncak kebahagiaan adalah ketika mimpi-mimpi yang dimiliki tercapai. So, don’t dream too much, I guess?

I don’t know where I am now and I know that the journey is very long and not easy. But I’ve started already. So, don’t stop yet, I guess?