Ini adalah seri terakhir dari brainstorming gue dalam memilih side hustle, sebelumnya gue sudah menerbitkan 2 tulisan yang berkaitan dengan series ini yang bisa diakses disini just in case kalau lo belum sempat membacanya:

Di kondisi gue seperti sekarang ini yang sedang jenuh berurusan dengan dunia perkodingan diluar jam kerja membuat gue sedikit produktif dalam menulis daripada biasanya hahaha.

Anyways, without further ado let’s start with ‘Why time is money?’

Why time is money?

Setidaknya ada 4 aplikasi media sosial yang terpasang di ponsel gue: Instagram, Twitter, Mastodon dan TikTok. Selain untuk melihat kabar teman yang tidak mengabari langsung ke gue, 3 aplikasi diatas berguna sebagai tempat membuang waktu gue untuk berpindah ke aktivitas lain di lain waktu.

Kita semua tahu bahwa 3 aplikasi diatas (Instagram, Twitter dan TikTok) dapat digunakan secara gratis oleh siapapun. Tidak sepeserpun ada uang yang harus kita keluarkan, sedangkan ada jutaan dollar yang dikeluarkan tiap bulan oleh mereka untuk membayar biaya infrastruktur. Belum lagi biaya lain seperti operasional.

Hampir 20% total waktu yang gue miliki per-hari gue habiskan untuk membuka aplikasi diatas, yang berarti anggap 4,8 jam sehari. Mereka (perusahaan yang mengoperasikan “media sosial”) ingin penggunanya berlama-lama menggunakan layanan mereka, karena mereka tahu, time is money.

Berbagai cara dilakukan namun yang paling laris adalah di sistem rekomendasi, sesuatu yang biasa disebut “algoritma” oleh sebagian orang. Semakin relevan rekomendasi tersebut, semakin besar pula potensi pengguna “hooked” atau terlena dengan apa yang sistem rekomendasikan. Alasannya sederhana, pengguna tidak harus mengeluarkan usaha hanya untuk memilih apa yang ingin mereka lihat. Dan FYP nya TikTok, Explore nya Twitter, dan “Older posts” nya Instagram gue rasa menjadi bukti akan alasan tersebut, mengingat fitur-fitur tersebut masih ada dan bahkan memiliki prioritas yang lebih tinggi dari yang lain.

Apa tujuan mereka ingin penggunanya berlama-lama di platform mereka? Tentu saja uang. Semakin lama disana, semakin banyak potensi iklan yang bisa dilihat oleh pengguna mereka. Sederhana.

Sekarang, bagaimana bila kita—sebagai pengguna—ingin mengambil kesempatan itu juga? I mean, dalam platform UGC (User-generated Content), pengguna—atau lebih spesifiknya “kreator”—adalah “aset” utama mereka. Tidak ada kreator, tidak ada konten. Sederhana.

Mereka akan berusaha sekeras mungkin untuk tetap membuat platform mereka memiliki banyak konten, karena itulah yang penggunanya cari. Lihat Twitter dengan fitur “Space” nya, atau TikTok dengan filter terbarunya, dan begitupula dengan Instagram. Mereka memberikan fasilitas ke kreator agar kreator terus membuat konten. Pada dasarnya mereka tidak peduli jika konten tersebut bukan milik mereka (alias, konten yang diunggah ke platform mereka, adalah properti si kreator) karena aset utama mereka adalah kreator nya, bukan kontennya.

Berdasarkan hal itu, tentu tidak fair rasanya bila si pemilik panggung mendapatkan keuntungan sedangkan si pemeran tidak mendapatkan apa-apa selain vanity metrics seperti followers dan likes. Lihat YouTube, pengunggah video di YouTube (atau seseorang yang biasa disebut “Youtuber”) memiliki motivasi untuk terus mengunggah disana (dan mungkin ada yang bergantung hidup disana) karena YouTube menjanjikan loyalti dari partner program yang mereka miliki.

Misal, kita ambil contoh TikTok. Mengapa di TikTok tidak ada sesuatu seperti yang ditawarkan oleh YouTube? Sekarang bayangkan jika ada platform lain seperti TikTok namun kreator mendapatkan loyalti. Kemungkinannya ada dua:

  1. Kreator akan pindah ke platform tersebut
  2. TikTok akan memiliki program tersebut juga

Yang berarti, about time, just in case anyone is curious.

Oke mungkin sekarang kita sudah kepikiran tentang kenapa waktu adalah uang. Sekarang mari kita bahas, bagaimana waktu adalah uang?

How time is money

Apa alasanmu membaca tulisan ini? Apa alasanmu melihat vlog orang lain? Apa alasanmu menonton kursus berbentuk video tentang membuat aplikasi iOS menggunakan React Native? Jawabannya beragam, bisa karena “mencari hiburan”, “mencari hal baru”, “belajar”, “iseng”, ataupun “untuk bahan”.

Tahukah dimana bagian yang paling menariknya?

“Mengapa”

Mengapa mereka ingin meluangkan waktu mereka untuk melakukan hal itu.

Mengapa mereka ingin terus melakukannya.

Mengapa mereka memilih kamu dan bukan orang lain.

Jawabannya beragam, namun yang pasti, mereka merasa bahwa waktu yang mereka sudah mereka buang tersebut setimpal.

Atau bahasa kerennya “worth it”.

Ada yang rela menghabiskan 2 jam sehari untuk menonton kursus pemrograman di Udemy, karena mereka rasa 2 jam tersebut setimpal dengan apa yang akan mereka dapatkan.

Ada yang rela menghabiskan 1 jam sehari untuk *menonton *podcast di YouTube, dan alasannya masih sama.

Ada yang rela menghabiskan 1 jam sehari untuk membaca buku, membaca Al-Qur’an, menonton film, berolahraga, apapun. Dan alasannya masih sama.

Apapun tujuannya, alasannya pasti sama: karena waktu yang mereka habiskan setimpal dengan apa yang akan mereka dapat terlepas untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan, bahan, apapun.

Sekarang kita sudah mengetahui sedikit bagaimana waktu adalah uang.

Oke mungkin kecuali bagian membaca Al-Qur’an diatas yang secara teori tidak mendapatkan materi berbentuk uang, berbeda dengan, misalnya, berolahraga yang tujuannya untuk dapat terhindari dari penyakit sehingga tidak perlu mengeluarkan uang ketika sakit.

Kita sudah membahas sedikit tentang “Mengapa mereka ingin meluangkan waktu mereka untuk melakukan hal itu”, untuk jawaban “Mengapa mereka ingin terus melakukannya” beragam, namun yang gue yakin karena faktor kebutuhan.

Untuk jawaban “Mengapa mereka memilih kamu dan bukan orang lain” pun gue rasa beragam, namun yang gue yakin karena faktor preferensi.

Pertanyaan selanjutnya yang sekaligus menjadi topik inti disini adalah: Jika waktu yang sudah mereka buang tersebut setimpal, bagaimana caranya membuat waktu kita (sebagai kreator) setimpal juga?

Gue menyebut diri gue kreator karena gue menulis blog, dan konten yang gue buat adalah tulisan sebagaimana yang sedang kamu baca saat ini.

Then, if your time is money, so is my time.

Defining goals

Jika tujuan gue menulis blog just for fun, sekalipun mungkin gue tidak pernah memikirkan hal itu, secara eksplisit goals yang ingin gue capai dalam menulis blog adalah… untuk bersenang-senang.

What if I’m not happy with it anymore? Itu pembahasan lain.

Tapi tujuan gue menulis blog bukan sebatas just for fun. I mean, come on, itu hanya salah satu tujuannya aja.

Tujuan utama gue menulis blog adalah untuk berbagi. Pemikiran, ide, dan cerita. Oke technically berbagi apa yang ingin gue bagikan aja, dan gue rasa tidak ada yang keberatan akan hal itu.

Apakah ada yang membaca tulisan-tulisan di blog gue? Fuck that Bounce rate and Avg visit time I guess?

Sejujurnya gue tidak peduli ada yang baca atau tidak. Tujuan utama gue adalah berbagi, bukan ingin dibaca.

Berbicara tentang tujuan pasti harus berbicara tentang harapan juga. Apa yang gue harapkan dari berbagi tersebut? I don’t know, it’s nice to have something to share, I guess?

Oke oke, jika yang gue bagikan adalah “ide”, harapan gue adalah ada someone yang mungkin ter-inspirasi dengan ide gue (regardless of giving credits) dan membuat ide tersebut menjadi kenyataan.

Jika yang gue bagikan adalah “pemikiran”, gue rasa gue ingin memberitahu tentang bagaimana cara gue… berpikir? Menyikapi sesuatu? Menanggapi sesuatu? Idk, you name it.

Jika yang gue bagikan adalah “cerita”, gue rasa gue ingin berbagi tentang apa yang gue rasa aja. Gue kurang yakin apakah gue berhasil atau gagal dalam menyalurkan apa yang gue rasa melalui tulisan ke pembaca, tapi ini bisa jadi salah satu validasi? HAHAHA via Trakteer — FWIW Radisa is one of my longtime supporters! Kembali ke topik, goals gue dalam menulis blog adalah untuk berlatih tentang bagaimana gue menulis dan bercerita. Jika gue menguasai 2 hal tersebut, in business terms secara teori gue bisa membuat seseorang “do action” dari apa yang ingin gue lakukan—would you Trakteer me for more validation, anyone?

Oke, dampak dari orang-orang sudah tahu tentang bagaimana gue menulis bercerita, harapannya, jika gue menulis sesuatu dimanapun itu, mereka sudah terbayang terkait apa yang akan mereka dapatkan. Imagine gue menulis sesuatu di blog nya Tailscale, lo udah tau bagaimana cara gue menulis dan bercerita dan lo merasa “worth it” untuk melakukannya. You get something, I get metrics.

Everyone wins, right?

Mendefinisikan goals, gue rasa, selain berguna untuk menentukan ROI juga berguna untuk menjaga konsistensi. Konsistensi disini beragam, tapi dalam kasus gue adalah seperti “what would you expect from reading my blog” dan “what would I expect from writing blogs”. Bagi pembaca setia (HAHAHA) blog gue yang ini, lo pasti merasa ga bisa expect gue akan menerbitkan tentang apa. Tentang programming? Tentang network administration? Tentang cinta? Tentang duit?

Random aja gitu, dan itu intended.

Justru gue gak expect kalau misalnya ada yang bisa menentukan seperti “besok si faultables pasti nulis tentang React”, like, tf man I don’t even know it hahaha.

Lalu apa yang gue expect? Like, nothing. Untuk blog ini ya.

Ada yang baca, ya bagus, ada yang share, ya alhamdulillah, ada yang merasa mendapatkan wawasan, ya thank you, ada yang merasa klo waktunya ternyata terbuang sia-sia, ya sorry.

Oke oke balik lagi ke topik, mendefinisikan goals disini gue rasa tidak harus realistis. Like, what is realistic when we haven’t reached it yet, anyway? Some people may be confused with “unrealistic goals” when they don’t even define any milestone yet. Dan gue rasa bukan hak gue untuk membahas tentang KPI dan OKR, oke mungkin belum.

Let’s be honest, gue ingin menulis buku. I know I know ini seperti “just another faultables bullshit” but take my word untuk saat ini gue serius. Gue terlalu fokus di ingin “menulis buku yang ingin gue tulis” dalam menerbitkan sebuah buku sedangkan milestone yang harus gue capai terlebih dahulu gue rasa harusnya adalah “menulis buku yang ingin pembaca gue baca”.

Ada 3 jenis buku yang kepikiran ingin gue tulis:

  • Novel fiksi (based on my life)
  • Buku teknis tentang infrastruktur (DevOps for Programmers)
  • Buku teknis tentang programming (Why programmers… program?)

Sooooo can you guys pick one for me? Please?

Novel Fiksi

Buku teknis tentang infra

Buku teknis tentang programming

Voting bersifat anonim dan make sure Adblock lo kagak block script umami gue ya ;)

Penutup

Gue kepikiran bikin tulisan ini ketika mencoba memahami “mengapa orang-orang menyawer orang yang live streaming”. Tentu jawaban “karena gue (ingin) support dia bang” saja tidak cukup dan jawaban “because they deserve it” terlalu misterius. Setelah gue pelajari, gue rasa jawabannya adalah “karena worth it” itu.

Waktu yang mereka luangkan untuk menonton live streaming kreator favoritnya dan uang yang mereka keluarkan untuk mendukung kreator favoritnya terasa “worth it” dengan apa yang mereka dapat: entah itu hiburan, pengetahuan, apapun.

Semoga sampai sini sudah mengerti maksud dan tujuan gue menulis ini, ya?

Okay so, why are we still here?

Still reading down to here?

How much time did you spend reading this?

Is it worth it?

If so, consider to clicking the button below.

So I know if my time is worth writing this, for this time.

And then everyone wins.