Hari Sabtu kemarin diajak teman untuk bertemu di salah satu tempat kopi berlogo putri duyung (as always) di kawasan Jakarta Selatan. Terakhir bertemu dengan dia mungkin sekitar akhir Desember 2022 kemarin sebelum gue pindah ke tempat tinggal.

Karena doi memiliki *platform *yang bergerak di creator economy, kita berbagi insight terkait bagaimana kondisi saat ini khususnya di Indonesia, yang dilanjutkan dengan cerita tentang kehidupan tanpa adu nasib haha. Anyways, dari berbagai insight yang didapat, yang bisa dibagikan kurang lebih adalah ini:

  • Tren *streaming *masih di puncak, tapi tidak senaik ketika masa PPKM
  • Challenge selanjutnya dari pengelola platform adalah menyesuaikan dengan kondisi paska PPKM tidak seketat sebelumnya ataupun sudah usai
  • Ini yang paling menarik: Media tulisan masih cukup laku meskipun berada di posisi kedua

Ditengah gempuran media berbagi video singkat, justru gue agak pesimis dengan media tulisan yang relatif statis dan memakan waktu yang lebih banyak. Coba bandingkan dengan penjelasan “Apa itu Docker?” di media tulisan yang mungkin memakan 1000 kata lebih (dengan 40 wpm berarti akan memakan waktu 25 menit) dengan video di TikTok/Reels yang berdurasi tidak lebih dari 5 menit.

Of course jelas perbedaannya khususnya di cakupan penjelasan, tapi bukan itu poinnya.

Secara pribadi, gue lebih memilih media tulisan untuk kebanyakan kasus. Jika sedang buru-buru, di media tulisan gue bisa lebih mudah untuk mencari apa yang diinginkan daripada harus mengira-ngira di menit keberapa sesuatu yang gue cari ada. Tidak jarang juga gue menikmati lebih banyak hiburan dari media tulisan daripada menonton video yang entah mungkin karena terasa lebih intim.

Tapi ada beberapa alasan pribadi lain yang menurut gue adalah kekurangan, tapi sekaligus menjadi kelebihan tersendiri dari media tulisan ini.

Information tokens

Semenjak informasi menjadi lebih mudah didapatkan dan tak terbatas, kurasi diperlukan untuk mendapatkan lebih banyak signal daripada noise. Gue kurang yakin apakah otak/ingatan itu terbatas, tapi gue hampir lupa apa yang gue lakukan di jam 15.00 sampai sebelumnya tadi sore. Tapi ada beberapa informasi yang gue masih ingat yang terjadi di hari ini: Teman dekat gue lamaran, dan 2 teman gue ada yang melaksanakan pesta menikah. Jika tidak salah ingat, ada teman gue yang sedang merayakan syukuran kelahiran juga.

Itu adalah 3 informasi yang gue dapat hari ini. Informasi lain? Gue membaca tentang Burnout yang dirasakan oleh *programmer *kondang yang gue langganan RSS feed nya, gue membaca pendapat tentang mengapa HTMX adalah masa depan, terus… apa lagi, ya? Apakah informasi tersebut penting? Jawabannya selalu tergantung.

Anggap dalam sehari kita membuat budget 1 jam untuk mencari informasi. Di media tulisan yang misalnya memiliki waktu baca rata-rata 10 menit, setidaknya gue bisa mendapatkan 6 informasi per-hari. 2 informasi diatas gue dapat dari Instagram Story dari 4 orang (15s/story), total 21 menit gue sudah digunakan untuk mendapatkan informasi di hari ini. Kadang, masalahnya bukan di seberapa lama, tapi di seberapa banyak. Jika sumber informasi hanya dari Instagram Story, dengan budget 1 jam setidaknya bisa mendapatkan 900 informasi jika memang berdedikasi untuk melakukannya. Atau jika misalnya dari Reels, bisa mendapatkan 60 informasi jika masing-masing video hanya berdurasi 1 menit.

Apakah 60 atau 900 informasi pada hari tersebut layak untuk diketahui? Tergantung, as always.

Kadang gue udah merasa capek jika dalam sehari sudah melihat 3 story yang isinya foto pernikahan. Atau, setelah iseng membaca satu thread yang lagi rame di Twitter. Kadang juga, gak kerasa nonton series 5 jam non-stop karena why not. Pada dasarnya segala sesuatu yang didapat dari indera adalah informasi, bukan? Bukan hanya tentang fakta atau peristiwa.

Kembali ke pembahasan, dengan cukup pede gue kuat mendapatkan informasi (khususnya melalui media tulisan) maksimal 45 menit (3 batang sampoerna mild) per sesi. Selebihnya, jika mata gue belum capek harusnya pikiran gue udah gak fokus. Sesi ini agak beragam, bisa ketika pas di kamar mandi (1-2 batang); pas di perjalanan (~30 menit pasming-kuningan), pas makan dan abis makan (1-2 batang), dll. Paling banyak kalo abis mandi di akhir pekan dan gak kemana-mana (3 batang).

Keterbatasan ini memaksa gue memiliki jeda untuk melakukan hal lain mungkin seperti istirahat atau melakukan hal penting seperti memindahkan handuk dari kasur ke kursi. Di media video, relatif sulit untuk mendapatkan jeda karena tidak merasakan sesuatu yang membuat harus memiliki jeda. Seperti menonton serial Suits yang bisa sampai 6 seri atau The Chainsaw Man yang gue selesaikan dalam satu sesi. Tanpa merasa capek. Tanpa merasa lapar. Tanpa merasa jarum detik terus berjalan.

Yang bisa dianggap, perhari gue memiliki maksimal 4 “information tokens” yang bisa gue maksimalkan. Sumber informasi yang gue pilih sebenarnya hanya 2: Hacker News yang dikurasi dari Front Page nya dan beberapa blog yang tidak setiap hari ada pembaruan. Bahkan gue berlangganan ke beberapa *newsletter *seperti dari Deno, Tailscale, dan APNIC yang hanya didapat mingguan dan bulanan.

Kadang sehari gak cari informasi apapun kalau lagi sibuk main permainan, dan gue tidak menyesali itu.

Sebagai kesimpulan: media tulisan terkadang membosankan dan melelahkan, tapi justru itu gue buat sebagai “kelebihan” untuk memberikan jeda. Pernah gue menonton video happy happy happy di reels yang tidak terasa sudah 3 jam berada di Instagram.

The indescribable

Terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa ataupun tidak relevan digambarkan.

Di media tulisan, pada dasarnya kita tidak dipaksa untuk membuat representasi visual tentang apa yang ingin kita utarakan. Bahkan jika lo sedang marah dan ingin meluapkannya ke media tulisan, dan tidak tahu harus menulis apa, sekalipun hanya berisi ljsdkghdilfungvsodi;jeirvn fksjvhlkfs fvelfsjnvskontol setidaknya sudah sedikit menggambarkan apa yang dirasa dan tidak jarang juga akan merasa baikkan karena sudah meluapkan.

kontooooool

Kalimat diatas hanya contoh yang bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi baru sadar belum matiin AC setelah pergi dari kamar selama 8 jam dan bardi lo offline.

Selain mengekspresikan perasaan yang tidak bisa digambar, media tulisan terkadang memiliki zat adiktif aneh yang tidak didapat dari sinyal yang mengeluarkan bunyi di speaker ataupun yang menampilkan kumpulan piksel yang membentuk grafis 2D di layar. Seperti, entahlah. Mungkin dari cara menulis? Cara membuat komunikasi dengan si pembaca? Atau, fantasi yang dibebaskan ke pembaca tentang apa yang diutarakan oleh si penulis? Ya, mungkin itu bagian terbaiknya: kita sendiri yang menggambarkan apa yang ada dipikirannya, bukan sebaliknya.

Bahkan gue pernah ikut senyum ketika membaca kalimat yang bertuliskan “hehe” karena membayangkan si penulis berbicara “hehe” tersebut. Sangat liar. Dan si penulis tersebut adalah

Penutup

Sebelumnya gue sangat senang menulis karena media ini dirasa tepat untuk menumpahkan apa yang ada dipikiran. Gue tidak perlu memikirkan lawan bicara, tidak perlu memikirkan responnya, tidak perlu memusingkan isi pikirannya. Teman gue yang sempat disinggung di awal tulisan sempat bertanya “sekarang nulis dimana nih?” yang meskipun terdengar basa-basi, setidaknya menggambarkan bahwa gue dikenal karena sebuah tulisan.

Gue jawab “sibuk nulis di VS Code” sambil bercanda.

Ada banyak yang ingin gue tulis, ada banyak yang ingin gue bagikan. Ada banyak isi pikiran yang ingin gue tumpahkan ke media tulisan ini. Namun gue memiliki pelarian lain. Media lain.

Pelarian itu adalah tidur.

Ketika telah mengetik beberapa paragraf dan menuangkan beberapa isi pikiran ke media dalam bentuk tulisan, gue sudah tidak ingat apa yang terjadi ditengah tulisan tersebut. Lalu mendengar suara alarm, mencuci muka, dan kembali menulis di VS Code. Atau sudah berada di google meet jika hari akan terasa panjang.

Per tulisan ini dibuat, setidaknya ada 48 tulisan yang menjadi berakhir di drafts. Semoga ini tidak menjadi yang ke 49. Yang seharusnya akan diterbitkan di jam 05.05 nanti.