Pada 30 Oktober 2020 kemarin gue pergi ke sebuah tempat bernama Farmhouse di daerah Lembang. Selain menjadi salah satu alasan jalan Lembang-Setiabudi macet di akhir pekan, Farmhouse masih menjadi destinasi wisata favorit untuk mereka yang sedang berlibur di kota Bandung.

Tiket masuk ke farmhouse relatif murah untuk dua orang meskipun gue lupa berapa tepatnya. Tiket tersebut nantinya dapat ditukar dengan food/beverage eksklusif seperti Susu atau Sosis jika gue tidak salah ingat. Jika dilihat dari aktivitas pengunjung di tempat tersebut, bisa disimpulkan bahwa yang dijual dari tempat ini adalah pemandangan, baik untuk dinikmati pribadi atau diabadikan di instagram story.

Gardening

Berkebun adalah salah satu hobi, tidak sedikit yang menikmati aktivitas merawat dari apa yang ditanam tersebut karena selain menyenangkan juga terkadang menenangkan. Tidak jarang aktivitas berkebun juga membuahkan hasil berbentuk materi, dan Farmhouse Susu Lembang salah satu contohnya. Meskipun aktivitas berkebun relatif umum, salah dua yang membedakan Farmhouse dengan kebun-kebun lainnya adalah aksesibilitas, dan tentu saja keindahannya yang lebih unggul dari kebun-kebun lain.

Orang tua gue juga memelihara tanaman di rumahnya meskipun relatif sedikit. Di sekian hari setiap pagi/sore, mereka menyiram tanaman-tanaman tersebut di belakang rumah, depan, dalam, dan terkadang samping. Meskipun membutuhkan mobilitas, tampaknya mereka menikmatinya.

Dan aroma dari tanah yang basah oleh air sejujurnya lebih enak dihirup daripada aroma asap yang keluar dari hasil pembakaran tembakau dan kertas.

Digital Gardening

Sebutan ini sudah menjadi sesuatu. Pembeda kontras antara kebun di dunia fisik dan digital adalah apa yang ditanam: kebun di dunia digital, yang ditanam (bibit) adalah “pemikiran” mengingat “dunia digital” erat kaitannya dengan informasi.

Salah satu bentuk kebun digital yang cukup populer adalah Wiki, yang umumnya tentang apapun yang menjadi ketertarikan dari si “tukang kebun” tersebut. Seperti, jika si tukang kebun tersebut tertarik dengan “kultur jepang” mereka akan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan ketertarikan tersebut.

Sounds familiar?

Informasi yang dikumpulkan tersebut pada dasarnya saling terhubung dan dipetakan sebagai grafik. Jika cukup familiar dengan Mind Map dan atau Knowledge Graph, pada dasarnya bentuk “digital garden” ini seperti gabungan antara Wiki dan Mind Map: semua informasi dipetakan, namun dalam bentuk tekstual daripada visual, plus, saling terhubung.

Contohnya grafiknya adalah seperti ini: Sumber Dan jika kita klik misalnya “Pokemon Go” akan menjadi seperti ini: Sumber Dan jika kita coba klik “ADHD” akan menjadi seperti ini: Sumber Maksud dari 3 tangkapan layar diatas adalah untuk menampilkan segala sesuatu yang berkaitan dengan “Gamification”, “Pokemon Go”, dan “ADHD”. Yang berarti, jika misalnya, misalnya nih, lo teridentifikasi oleh profesional memiliki ADHD, mungkin lo harus menghindari bermain Pokemon Go karena game tersebut menggunakan Gamification… dan Gamification meng-trigger ADHD.

Informasi-informasi yang ada di wiki tersebut bersifat evergreen, gampangnya, akan terus selalu di-update sebagaimana aktivitas dari “perawatan” dalam berkebun pada umumnya.

Dan setiap orang tidak jarang memiliki makna indah sendiri, tapi kita setuju bahwa sesuatu yang indah adalah yang sesuatu yang dapat dinikmati.

Social Media

Sadar tidak sadar ataupun setuju tidak setuju, media sosial adalah salah satu bentuk dari kebun digital. Sebagaimana aktivitas berkebun di dunia fisik, tidak ada yang mendikte harus bagaimana kebun tersebut. Mungkin ada yang lebih senang membuat kebun yang dipenuhi tanaman bonsai seperti tetangga gue, atau mungkin pohon kaktus, atau beringin, atau kumpulan janda… bolong.

Your garden your rules anyway.

Ambil contoh Instagram, mungkin profile lo dipenuhi dengan 1 foto candid berukuran 1024x1024 yang dibagi menjadi 9 foto. Atau mungkin dipenuhi foto langit ketika senja. Atau mungkin dipenuhi foto tutorial cara membuat website. Atau mungkin dipenuhi video dengan tulisan i’m addicted to sebagai sampul.

Atau mungkin kumpulan foto-foto random dengan filter grayscale.

Apapun.

Tujuannya selalu beragam, tapi mari kita generalisir untuk menunjukkan ketertarikan. Jika profile tersebut dipenuhi dengan foto langit, mungkin dia memiliki ketertarikan khusus dengan langit, begitupula mungkin jika dipenuhi foto selfie, candid, plandid yang mungkin memiliki ketertarikan khusus dengan dirinya sendiri.

Foto-foto tersebut ditangkap menggunakan kamera yang dimiliki penggunanya, yang berarti, seharusnya foto tersebut adalah milik si pengguna. Terlepas apakah yang ditangkap dari kamera tersebut milik si penangkap atau bukan, itu cerita lain.

Instagram selaku penyedia layanan (untuk berbagi media dalam bentuk foto/video) memberikan tempat untuk aktivitas berbagi tersebut. Gampangnya, mereka memiliki “tanah” dan siapapun dapat menanam apapun di tanah tersebut selama tidak melanggar persyaratan layanan dan panduan komunitas.

Pertukarannya adalah lo mendapatkan vanity metrics yang memuaskan lo dan Instagram mendapatkan metrics yang menghasilkan profit. Pertukaran ini win-win solution, siapa pula yang ingin menjalankan “Instagram nya sendiri” dan berurusan dengan server; firewall, block storage, backup, databases, domain, dns, reverse proxy, docker, blablabla blablabla.

Instagram hanya salah satu contoh dan ini berlaku ke penyedia layanan lain yang menawarkan layanan serupa seperti Facebook, Twitter, Quora, Medium, Foursquare Swarm, Snapchat, Ask.fm, OnlyFans, Behance, Dribbble, LinkedIn dan sebagainya.

Setiap penggunanya merawat kebun yang entah penuh dengan informasi, inspirasi, wawasan, keindahan, atau mungkin yang dapat menaikkan gairah.

Terlepas tujuan yang ingin dicapai: bersenang-senang, iseng, membangun portfolio, pamer, berjualan, berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, atau mempromosikan jualan orang.

Walled Garden

Jarak tempuh dari Cilandak (Jakarta Selatan) ke Farmhouse Susu Lembang (Bandung Barat) menggunakan kendaraan roda empat adalah 158 KM jika merujuk ke Google Maps menggunakan opsi jalur tol. Berkat Farmhouse setidaknya kita bisa melihat langsung salah satu bentuk kebun yang indah sekalipun ada perjalanan yang harus ditempuh.

Meskipun masuk ke farmhouse tersebut tidak gratis, setidaknya biaya yang dikeluarkan berputar lagi ke farmhouse untuk operasi dan pemeliharaan.

Plus, tiket tersebut dapat ditukar dengan food/beverage :))

Di dunia digital, jarak tempuh bukanlah rintangan. Akses ke server yang berada di Singapore dari Jakarta Selatan membutuhkan waktu <50ms untuk terhubung menggunakan jaringan dengan bandwidth 20Mbps alias 2.5 MB/s. Meskipun round trip tidak dapat dihindari, di tahun 2023 seharusnya memakan <800ms untuk sampai ke Time to First Byte (TTFB).

Tidak berbeda dengan kebun fisik, kebun digital pun membutuhkan sesuatu untuk operasi dan pemeliharaan. Ada waktu, uang, dan tenaga yang harus dialokasikan untuk membuat kebun tersebut hidup.

Seseorang harus membuat kebun tersebut tetap hidup.

Di dunia digital, yang paling mainstream adalah dengan menjual ruang untuk menampilkan iklan, yang sebenarnya, berlaku di dunia fisik juga. Beriklan di dunia digital secara teknis lebih efektif, karena si pengiklan dapat menentukan target penonton yang diharapkan, dan pada akhirnya tujuan iklan adalah agar yang melihatnya melakukan sesuatu.

Dan untuk melakukan sesuatu tersebut, setidaknya iklan tersebut harus ditayangkan ke/di sesuatu yang relevan. Seperti, hampir tidak mungkin mengharapkan seseorang menggunakan promo BOGO untuk produk kopi melalui iklan, jika yang melihat iklannya bukanlah peminum kopi.

Ini adalah awal dari walled garden.

Sebuah kebun indah yang bertembok.

Walled garden adalah ekosistem yang tertutup dengan prinsip yang relatif sederhana: operasional diatur oleh si penyelenggara, demi tujuan tertentu.

Salah satu contohnya adalah Instagram. Jika ingin melihat kumpulan foto dan tidak memiliki akun disana, di kasus yang langka, dibatasi hanya dapat melihat 12 foto (salah satu alasan mengapa unggahan gue di IG hanya 12) dan di kasus yang sering terjadi, akan diarahkan ke halaman login tanpa memiliki kesempatan untuk melihat 12 foto tersebut.

Pengguna di IG tidak memiliki kontrol terhadap itu, meskipun media-media yang diunggah milik penggunanya, karena diambil dari perangkat yang penggunanya miliki.

Tujuannya, ehm, cukup beragam. Jawaban politisnya adalah untuk melindungi konten yang dimiliki pengguna, berikut dengan penggunanya. Bayangkan jika konten-konten (media) yang diunggah pengguna *dicuri *dan pihak IG tidak mengetahui siapa yang mencurinya.

Namun pada akhirnya, ini hanya tentang bisnis seperti biasa. Iklan hanya bisa tampil ke pengguna terdaftar, semakin besar jumlah penggunanya, semakin besar pula jumlah iklan yang bisa dijual. Di samping itu, pengguna secara sukarela akan menambahkan informasi-informasi yang sebenarnya opsional, dari lokasi; akun terkait, tagar, dsb. Informasi tersebut membantu dalam menyusun konteks, sebagaimana grafik yang sebelumnya dilampirkan yang menggambarkan tentang informasi yang saling terhubung. Lengkap sudah, bukan?

Esensinya tidak ada yang dirugikan dari model walled garden ini, tapi setidaknya bertentangan dengan tujuan internet yang menjanjikan “informasi terbuka” kepada siapapun.

Jika tanpa tembok “garden” tersebut seperti “lihat kebunku dan siapapun dapat melihatnya!”, dalam model walled garden, gampangnya seperti “lihat kebunku dan siapapun (selagi berada di dalam tembok) dapat melihatnya!”

Penutup

Mengetahui bila otak gue memiliki batas, ada beberapa hal yang berada di otak gue (pikiran) yang harus gue simpan di suatu tempat. Ada yang gue tuang dalam bentuk daftar tautan, ada yang dalam bentuk tulisan seperti di blog iniiniini dan ini, ada yang dalam bentuk “status” seperti disini, ada yang di tempat pribadi yang tidak terhubung ke jaringan internet, di buku fisik, atau dimanapun itu selagi bukan di otak gue.

Blog salah satu “kebun digital” gue yang tidak bersifat evergreen. Anggap seperti menanam sesuatu yang tidak pernah mati, dan setiap tulisan adalah bibit nya. Hampir tidak pernah gue melakukan penyuntingan terhadap tulisan yang pernah diterbitkan, tapi di banyak kasus, tulisan-tulisan setelahnya terkadang berkaitan ataupun “berdasarkan” dari tulisan yang sebelumnya pernah gue terbitkan.

Setiap orang dengan akses internet bisa melihat kebun digital gue, tanpa batas, tanpa biaya. Jika menikmati kebun gue, ada tombol berwarna merah melayang dibawah dan tidak ada kewajiban untuk menekannya. Jika tidak menikmatinya, mengapa kita masih berada di paragraf ini?

Yang memiliki kontrol terhadap kebun digital ini adalah gue, si pemilik kebun. Gue memiliki kontrol penuh terhadap apa yang bisa dan tidak bisa dilihat, bertanggung jawab dalam pemeliharaannya, dan bertanggung jawab untuk terus membuatnya hidup.

Jika menikmati ataupun mendapatkan sesuatu dari yang gue tanam, then good for you. Namun jika tidak, itu tidak menjadikan alasan untuk gue agar berhenti “menanam” di kebun ini. My garden my rules, right?

Mungkin gue akan mempertimbangkan untuk menerbitkan evergreen “digital garden beneran” gue ke internet dari yang sebelumnya hanya bisa diakses dari iA Writer gue. Yang berisi dari {Sysadmin|DevOps|SRE|SWE} 101, sampai ke benang merah organisasi hitam Detective Conan, konspirasi “the matrix” dan teori dimensi 4, everything about X, dsb.

Mungkin setelah memisahkan hal-hal yang bersifat NSFW haha.

Sebagai penutup, jika tertarik untuk memulai (atau sedang) memelihara “kebun digital” sendiri, mungkin bisa pertimbangkan untuk menghindari kebun yang dikelilingi oleh tembok.

Alasan utama gue menulis tulisan sebanyak 1.5k kata ini setelah teman gue membagikan tautan di grup yang no idea tentang apaan kecuali gue harus “login” atau memintanya untuk menangkap/merekam layar. Tentu gue bisa saja login, atau meminta dia untuk merekam layar, atau cukup menghiraukannya saja.

Dan pilihan yang gue ambil adalah menerbitkan tulisan ini.

Karena salah satu ketertarikan gue adalah gue tertarik untuk mengikuti kabar orang lain yang gue peduli.

Dan mereka pikir kita pasti berada di dalam tembok yang sama.