Saat sedang mengantri di supermarket, tangan saya reflek merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Tidak ada notifikasi ataupun tujuan khusus saat membuka kunci layar menggunakan muka, hanya, entah bagaimana otak saya merasa yakin bila aktivitas yang dilakukan saat mengantri adalah memeriksa ponsel.

Tingkat urgensi membawa ponsel hari ini hampir setara dengan membawa dompet. Dompet dimaksudkan untuk menyimpan barang-barang yang muat di saku: dari kartu debit, kartu tanda penduduk, kartu SIM, kartu asuransi, kartu keanggotaan, dan tentu saja uang kertas.

Tidak jarang juga berguna untuk menyimpan benda ajaib yang mungkin dapat digunakan disaat yang acak seperti menyimpan kond—oke skip, tidak lulus redaksi.

Hari ini, hampir semua isi di dompet ada di ponsel. Of course, kecuali, mungkin, si benda ajaib tersebut. Aktivitas terbanyak yang dilakukan di ponsel saya sendiri adalah untuk bertransaksi, sisanya, sebagaimana tujuan utama dari ponsel itu sendiri: untuk berkomunikasi; mendekatkan yang jauh dan tidak jarang menjauhkan yang dekat.

Saat ingin bepergian, terkadang saya bepikir mengapa harus membawa dompet. Hanya empat kartu yang berpotensi digunakan, itupun hanya di kondisi spesial seperti ketika ada pemeriksaan di jalan ataupun ketika pembayaran melalui QRIS sedang tidak dapat digunakan. Untuk uang kertas, saya selalu membawa 200rb untuk jaga-jaga bila transaksi elektronik tidak dapat dilakukan.

Saya memasukkan kembali ponsel dan melakukan pembayaran melalui mesin EDC. Beberapa supermarket belum mendukung pembayaran melalui QRIS karena alasan yang tidak pernah ingin saya ketahui. Transaksi elektronik seperti ini menghilangkan kekhawatiran terkait membawa uang yang kurang ataupun menerima kembalian yang tidak tertatur.

Transformasi digital mungkin dapat membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah lagi berkat teknologi, khususnya dalam aktivitas transaksi. Namun demikian, apakah sama hal nya dengan membuat manusia menjadi lebih konsumtif lagi berkat kemudahan tersebut?


Dari 6 series Black Mirror, episode favorit saya sejauh ini adalah “Joan is Awful”, episode pertama dari series keenam yang tayang pada awal Juni 2023.

Black Mirror pada dasarnya adalah sebuah film series dan sebagaimana tujuan pembuatan sebuah film pada umumnya, dimaksudkan untuk hiburan. Film adalah media yang relatif sempurna untuk mendongeng karena melibatkan audio dan visual yang cukup membantu dalam proses penceritaan.

Jika merujuk ke judul dari film tersebut, cukup aman bila film itu dimaksudkan untuk refleksi alih-alih hiburan. “Cermin hitam”. Di Indonesia sendiri, jika tidak salah ingat, sekitar tahun 2015-2018 terdapat series berjudul WTF Indonesia yang diterbitkan di platform berbagi video YouTube yang mana membahas topik yang lebih spesifik. Kebanyakan menganggap bahwa series video yang diterbitkan tersebut bertujuan untuk hiburan, namun mungkin akan berbeda jika series Black Mirror menjadi sesuatu seperti sekarang, dan yang mana dikuatkan dengan video terakhir dari series tersebut.

Episode “Joan is Awful” intinya bercerita tentang sebuah teknologi bernama deepfake. Yang membuat episode ini menjadi favorit saya adalah karena melibatkan 3 hal yang anggap cukup saya senangi: rekursifitas, simulasi, dan komputer quantum. Yes, that quantum fucking computers.

Intinya, ini adalah tentang seseorang (Joan) menonton aktivitas dirinya sendiri di platform streaming video bernama Streamberry, dan “Joan is Awful” ini (di platform streaming video tersebut) adalah series pertama sebagai pengujian.

Dalam episode ini, ada 3 tingkatan “realita” yang terlibat: Joan sumber yang menonton Joan level 1 (diperankan oleh Anny Murphy) di Joan is Awful dan Joan level 1 yang menonton Joan level 2 (diperankan oleh Salma Hayek) di Joan is Awful. Secara teknis, si Joan level 2 akan menonton si Joan level 3 (yang entah diperankan siapa) namun di episode tersebut, tidak dilihatkan cuplikan si Joan level 2 menonton film Joan is Awful.

Yang artinya, untuk menyadari bahwa Joan berada dalam simulasi, Joan harus menyadari terlebih dahulu bahwa Joan sadar berada dalam simulasi. Si “Joan sumber” di film tersebut tidak menjamin adalah si Joan “asli”, dan sebagaimana sifat dasar dimensi: dimensi diatas bisa melihat ke dimensi dibawahnya namun tidak bisa sebaliknya. Inilah alasan mengapa kita (yang diyakini tinggal di realitas dimensi 3) bisa melihat sesuatu ber-dimensi satu (x); dua (xy) dan tiga (xyz), tapi tidak bisa melihat sesuatu dengan dimensi empat dan seterusnya.

Yang dalam konteks Joan is Awful, Joan di realita tersebut hanya bisa melihat diperankan siapa namun tidak bisa melihat memerankan siapa.

Ini menurut saya pribadi bisa dianggap sebagai proyeksi/presentasi dari takdir. Dalam ajaran Islam, segala sesuatu diyakini sudah dicatat oleh tuhan dalam kitab Lauhulmahfudz. Yang gampangnya, segala sesuatu—termasuk aktivitas membaca tulisan ini pada detik ini—sudah tercatat di kitab tersebut. Membaca tulisan ini pada detik ini pada akhirnya adalah takdir yang kamu pilih.

Jika kita dalam simulasi, sederhananya adalah apa yang kita lakukan di detik ini adalah apa yang dilakukan oleh versi dari diri kita di realita lain. Dalam film Joan is Awful, terdapat jeda beberapa waktu sebelum menayangkan apa yang si Joan tersebut lakukan di film Joan is Awful.

Bagian menariknya adalah, alasan mengapa tayangan tersebut berjudul “Joan is Awful” yang relatif berkonotasi negatif alih-alih yang berkonotasi positif seperti “Joan is Awesome” adalah karena tayangan yang menunjukkan sisi positif kurang menarik audiens. Saya rasa ini tidak perlu dijelaskan lebih lanjut jika melihat ke “realitas” yang ada.

Di keseluruhan cerita Joan is Awful, Joan mungkin adalah pribadi yang jahat. Lalu pada suatu titik, dia ingin merubahnya yang dimulai dengan menghancurkan si komputer quantum. Semenjak itu, kehidupan Joan menjadi lebih baik yang ditayangkan dengan sesi terapi saat ditanya bagaimana kehidupan Joan sekarang.

Dan yang paling penting, tayangan Joan is Awful sudah berakhir, yang mungkin, karena Joan sudah tidak jahat: berdamai dengan dirinya, melakukan yang dia senangi dan memperlakukan karyawannya dengan baik.

Sounds boring, no?

Bagian yang saya ambil yang mungkin bisa dijadikan pelajaran, ini adalah tentang muhasabah alias evaluasi. Bedanya dengan di realitas kita, muhasabah dilakukan dengan perenungan atas apapun yang sudah kita lakukan alih-alih menjadi tontonan dalam bentuk film, apalagi sampai menjadi konsumsi yang bisa “dinikmati” oleh khalayak banyak.

Di lain sisi, dalam ajaran Islam, ada sebuah konsep bernama Padang Mahsyar. Ini adalah tempat dimana manusia dibangkitkan kembali setelah kematiannya, lalu dikumpulkan, dan yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan perbuatannya ketika hidup di dunia dulu. Kondisi ini disebut juga dengan Hari Perhitungan. Dari pelajaran yang saya dapat, segala perbuatan yang pernah kita lakukan akan di pertontonkan (yang jika tidak salah ingat ke semua manusia) yang sekalipun mata (indera penglihatan) kita sudah terkubur di tanah.

Awalnya alasan saya memasukkan bagian ini ke tulisan ini adalah untuk menceritakan bagaimana kondisi Joan is Awful bisa terjadi berkat teknologi: tentang pembuatan profil, pelacakan digital, kebijakan privasi, kecerdasan umum buatan, dan apapun yang terlihat tidak mungkin dapat dilakukan dengan sebuah teknologi.

Tapi saya rasa justru nilai terpentingnya adalah apa yang ada di cermin hitam tersebut. Tentang bagaimana teknologi dapat membangun dan menghancurkan kehidupan seseorang, tentang bagaimana kehidupan seseorang dapat berubah berkat bantuan teknologi.

Namun demikian, pada akhirnya yang bisa merubah Joan adalah Joan sendiri.

Di penghujung film saat Joan ragu ingin menghancurkan komputer quantum sialan itu, Joan meyakini dirinya dengan berkata “Jika aku berdiri di sini, berarti Joan di ‘dunia nyata’ sudah berdiri disini. Kehendakku tak berarti… Sebab kejadian ini berdasarkan fakta yang telah terjadi. Ini bukan keputusanku. Ini keputusan Joan. Ini harus terjadi. Joan melakukannya.”


Di kehidupan sekarang, relatif sulit menentukan mana ‘yang benar’ dan ‘yang tidak benar’, jika memang peduli. Di beberapa video yang dibagikan di platform media sosial, tidak jarang menemukan komentar seperti ‘ini settingan’, ‘pasti scripted’ dsb saat menunjukkan sesuatu yang seperti nyata. Anggap seperti sebuah video ‘bertanya ke orang acak lalu memberikan hadiah’ sebagai contoh.

Terlepas ‘settingan’ ataupun tanpa-skrip-dan-persetujuan, apa sebenarnya yang penting? Apa esensinya? Apa tujuannya?

Bukankah segala sesuatu yang terjadi bahkan sudah ditulis di lauhulmahfudz?

Tentu, di banyak kasus, tujuannya adalah untuk hiburan. Dan komentar ‘settingan’ seharusnya bukanlah sebuah kewajiban. Jika kebenaran dan kebohongan adalah tentang keberadaan sangkalan bahwa video tersebut hanyalah fiktif untuk tujuan hiburan semata, lalu, bagaimana kebenaran yang berdasarkan fakta/realita?

Gue kepikiran hal ini saat salah satu teman gue bilang bahwa kesenangan yang gue rasakan—saat menceritakan sesuatu—hanyalah kesenangan semu, meskipun gue merasakan bahwa kesenangan itu ada disana.

Memang bagaimana rasanya ‘kesenangan asli’ itu? Apa yang memang membuatnya menjadi pembeda? Apa yang penting dari nyata dan semu, anyway?

Gue akan mencoba menjelaskan. Coba bayangkan lo berada di sebuah tempat yang indah, aman dan nyaman. Tempat impian lo. Bersama dengan seseorang yang lo inginkan dan dikelilingi dengan barang-barang ataupun hal-hal yang lo impikan.

Apakah lo merasakan kesenangan ketika membayangkannya?

Jika iya, tentu, mungkin, itu dianggap kesenangan semu. Kesenangan yang didapat dari sesuatu yang tidak terjadi. Yang mungkin, jika terjadi tidak sesuai dengan yang lo bayangkan sebelumnya.

Tapi apa pentingnya? Hari ini dan hari esok adalah lini waktu yang berbeda. Serta, realita, hanyalah tentang apa yang dipikirkan dan apa yang bisa dijangkau dengan panca indera. Membandingkan membayangkan nikmatnya makan Indomie rebus jam 04:29 WIB dengan merasakan kenyangnya setelah memakannya tentu dua hal yang berbeda, tapi jika rasa nikmatnya saja bisa dibayangkan, apa pentingnya? (brb bikin indomie)

Atau apakah ini cuma bukti penguat bahwa gue mulai kurang waras?

Namun demikian, sesuatu yang tidak benar-benar terjadi tidak bisa menjadi landasan khususnya dalam mempertanggungjawabkan sesuatu, apalagi jika ditunggangi untuk suatu kepentingan.

Dan yang paling penting, kebenaran selalu berdasarkan fakta dan bisa dipertanggungjawabkan karena bisa dibuktikan, dan dapat diterima oleh akal dan indera.

Mungkin khayalan gue terhadap nikmatnya makan Indomie rebus jam 04:29 WIB tadi adalah sebuah kebohongan dan hanya merasakan kenikmatan yang semu.

Tapi apa pentingnya di jam 04:56 WIB setelah gue selesai beneran memakannya dan merasa kenyang?


Jam menunjukkan angka 03:03, udara terasa sangat segar ditambah dengan hembusan angin perlahan-lahan. Kami berdua sedang berbaring di padang rumput sambil memandangi bintang-bintang yang tak tertutup oleh polusi cahaya.

Tidak ada suara musik, apalagi kendaraan. Sesekali terdengar suara hembusan angin melewati rumput yang menguatkan bagaimana heningnya kondisi saat ini.

“Bintang indah, ya” ucap seseorang disamping gue, menghapus keheningan.

“Bintang terkecil berdiameter 10 kali lebih besar dari diameter bumi” ucap gue, “Jika satu bintang jatuh mengarah ke Bumi secara utuh…” gue melanjutkan.

“Bumi akan hancur?” ucapnya.

“Harusnya. Tapi entah bagaimana disini ada satu bintang utuh yang bilang ‘Bintang indah, ya’ ” ucap gue sambil bercanda.

Kami berdua tetawa kecil. Tertawa sinis lebih tepatnya.

“Kamu sadar kan klo ini cuma mimpi?” tanya gue. Dia menanggapi secara instan dengan pertanyaan lagi: “Mimpi siapa emang?”

“Aku” ucap gue, singkat.

“Bagaimana jika ini adalah mimpi orang lain yang kebetulan kita mendapatkan peran dan lalu dipertemukan disini? Bagaimana jika memang aku disana sedang memimpikan hal yang sama juga? Bagaimana jika ini ternyata realita di semesta lain yang entah bagaimana kita mendapatkan peran sekarang? Bagaimana jika…” ucapnya panjang lebar.

“Oke, oke, oke” gue memotong.

Disini gue tidak merasakan kelaparan, atau kedinginan, atau bahkan rasa kantuk. Hembusan angin perlahan tidak terasa secara fisik namun gue merasakan kedamaiannya. Sambil memikirkan 3 pertanyaan tersebut, pikiran gue buyar karena mendengar suara yang sama.

“Kapan kita bangun? Dan dimana?” pertanyaan nya selanjutnya. Rasa penasaran dan keingintahuan nya mengingatkan gue dengan cerita Pandora.

“Di atas kasur seperti biasa, dan tergantung ketika di alarm keberapa kita terusiknya” jawab gue, realistis.

“Kita bertemu lagi, kan? Di tempat antah berantah ini?” ucapnya.

“Entahlah. Disini, di bumi, di semesta lain, jika memang sudah jalannya, tidak ada yang bisa memberhentikan” jawab gue sok bijak.

Hari sudah mulai terang. Kicauan burung mulai terdengar samar-samar. Kilauan bintang perlahan memudar, segera tertutup cahaya matahari yang mungkin jaraknya lebih dekat dengan bumi.

“Melihat bintang berarti melihat masa lalu, tau” ucapnya. Lalu dia melanjutkan: “Klo cahaya bintang yang kamu liat jaraknya 100 tahun cahaya dari bumi, maka cahaya yang datang dari bintang tersebut membutuhkan 100 tahun juga untuk mencapai bumi. Berarti, cahaya bintang yang kamu liat itu adalah cahaya bintang dari ratusan tahun lalu” ucapnya panjang lebar.

Mungkin gue perlu mencari tahu apakah ucapannya berdasarkan data atau hanya sebatas bercandaan sebelum perpisahan.

“Bagaimana jika kita tidak bertemu lagi? Atau seperti tidak pernah merasa kenal satu sama lain? Bahkan sampai detik ini kita tidak mengetahui nama kita masing-masing” lanjutnya.

“Namun demikian…” sebelum gue menyelesaikan jawaban, terdengar suara nada yang sangat familiar. Bunyi alarm dari ponsel yang gue simpan diatas meja kerja.

Cahaya matahari terlihat samar-samar memasuki kamar gue melalui jendela yang tertutup oleh gorden abu-abu.

“Namun demikian, pada akhirnya kita dipertemukan kembali. Sekalipun tidak pernah berkenalan ataupun mengetahui nama masing-masing sama sekali”. Kalimat itulah yang ingin gue ucapkan dengan lengkap.

Entah bagaimana caranya bertemu dengan seseorang yang tidak pernah dipertemukan sebelumnya. Bahkan, keberadaannya saja mungkin bisa dipertanyakan.

Dan jika memang sudah jalannya, mari kita mulai dengan “Namun demikian” nanti. Dilanjutkan dengan cerita transaksi elektronik menggunakan QRIS; salah satu episode dari Black Mirror, membayangkan nikmatnya makan Indomie rebus shubuh-shubuh sampai beneran membuatnya, dan diakhiri dengan percakapan ‘Bintang indah, ya’ yang menjadi awal dari segalanya.

Sekarang jam menunjukkan 07:07 WIB, waktunya gue memulai hari atau waktunya gue menutup hari di semesta yang lain.