Pada 28 Oktober 2022 kemarin, sebuah platform hasil karya anak bangsa™ dengan iming-iming “metaverse” diluncurkan. Platform tersebut cukup besar, mengingat “terhubung dengan IKN Nusantara” menjadi daya jual utamanya. Tidak sedikit yang percaya dan yakin jika Metaverse adalah masa depan terlepas pro dan kontra yang ada.
Prasarana untuk memfasilitasi teknologi tersebut terus bertumbuh dan berkembang, dan rebranding teknologi VR menjadi Metaverse adalah sebuah keharusan karena Metaverse diyakini tidak hanya sebatas tentang realitas virtual.
Yang diiringi dengan rebranding sebuah perusahaan yang kebetulan memiliki nama yang sama dan juga mempopulerkan teknologi serupa.
Sebelum zaman informasi seperti sekarang, ruang dan waktu selalu menjadi batasan. Hampir tidak mungkin untuk mengucapkan “selamat pagi” ke orang acak yang berada di benua berbeda, apalagi jika bisa diterima 5 detik setelah ucapan tersebut dilontarkan. Percakapan tatap muka dulu hanya bisa terjadi jika dua atau lebih orang berkumpul di tempat yang sama dan di waktu yang sama.
Berkat teknologi informasi, batasan-batasan tersebut perlahan menjadi mitos. Layanan perpesanan instan hampir dimiliki oleh setiap pengguna ponsel pintar, dan tidak jarang mendukung fitur untuk memfasilitasi percakapan tatap muka melalui media video yang mana sudah menjadi “gold standard” dalam bersosial di dunia digital.
Dan juga, sekarang kita menjadi bisa tahu bila di bagian Indonesia yang lain sedang terjadi banjir misalnya, bahkan mungkin beberapa menit setelah banjir tersebut terjadi.
Mungkin suatu saat nanti bahkan menjadi secepat kedipan mata, ketika setiap milidetik manusia mungkin terasa sangat berharga.
Demistifikasi realitas
Realita sederhananya adalah kenyataan yang benar-benar ada dan terjadi. Lawan kata dari realita sendiri yang paling populer adalah khayalan, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Dua hal ini cukup abstrak, tapi fondasinya tetap satu: kepercayaan.
Dalam kepercayaan, setidaknya ada tiga tingkat yang gue ingat dari salah satu pelajaraan ketika di pesantren dulu yang sejujurnya gue lupa pelajaran apa:
- Percaya karena berdasarkan kesaksian orang lain
- Percaya karena melihatnya sendiri
- Percaya karena merasakannya sendiri
Contoh sederhana ketika ingin mencoba makanan yang enak, misalnya. Ketika tidak tahu bagaimana rasanya, kita cenderung akan mencari “review” dari siapapun yang pernah merasakannya.
Jika masih belum percaya, mungkin kita perlu melihatnya langsung wujud dari makan tersebut. Jika masih ragu, kita mungkin bisa memakannya dan menilai jika makanan tersebut enak ataupun sebaliknya.
Realita, umumnya berkaitan dengan sebuah kejadian. Untuk dapat menentukan apakah kejadian tersebut benar-benar ada ataupun ternyata tidak terjadi, setidaknya perlu sebuah kesaksian. Seperti, kita tidak akan ingin mempercayai seseorang yang bilang “makanan ini enak” yang padahal dia belum pernah makan makanan tersebut sama sekali.
Dalam kesaksian, setidaknya melibatkan indera. Baik itu indera penglihat, pendengar, pencium, pengecap, ataupun peraba. Pembeda kontras dari sesuatu yang terjadi adalah kita bisa merasakan bagaimana sesuatu itu terjadi, berkat indera. Jika kita menggambarkan/menyaksikan sesuatu tanpa bisa menjelaskan bagaimana bentuknya; suaranya, harumnya, rasanya ataupun teksturnya, besar kemungkinan sesuatu tersebut sebatas khayalan.
Di dunia digital, segala sesuatu hanyalah tentang 0 dan 1. Setidaknya sebelum komputasi quantum menjadi sesuatu. Merdunya suara yang terdengar di pengeras suara dan indahnya citra yang dilihat dilayar, adalah kumpulan informasi yang terdiri dari 0 dan 1 yang menginstruksikan sesuatu untuk mengeluarkan sinyal ataupun untuk menampilkan piksel.
Di dunia fisik, segala sesuatu yang bersifat fisik menjadi batasan. Seperti, untuk membuat kursi kayu, setidaknya harus memiliki kayu terlebih dahulu. Berbeda dengan dunia digital yang keterbatasannya pada dasarnya hanyalah kreativitas, tidak ada yang bisa memberhentikan seseorang di dunia digital untuk menjadikan elang sebagai alat transportasi jika bisa membuatnya terjadi.
Lalu, apakah sesuatu yang dilihat tersebut bersifat khayalan hanya karena tidak pernah terjadi di dunia fisik?
Jadi, apakah “dunia fisik” yang dijalani sekarang adalah “dunia nyata” dan bukan… idk, fatamorgana?
Rekonstruksi realitas
Ada satu bagian di buku Sapiens yang menjelaskan tentang sesuatu yang membuat manusia bisa hidup sampai hari ini dan menjadi “penguasa” di planet ini adalah kemampuannya untuk mempercayai sesuatu yang tidak ada, jika tidak salah ingat ataupun salah paham.
Dan pada dasarnya, kita manusia selalu memperjuangkan sesuatu yang tidak ada untuk membuatnya menjadi ada.
Misal, kebahagiaan. Kondisi “tidak bahagia” simply karena kita tidak memiliki… rasa bahagia? Siapapun yang ingin bahagia, dia akan berusaha untuk mencari ataupun membuat sendiri sesuatu yang bisa membuat dia memiliki rasa bahagia tersebut.
Cerita sedikit, salah satu tempat favorit gue di pesantren adalah loteng, hanya orang-orang tertentu yang bisa dan mau pergi kesana. Loteng adalah tempat yang “sakral” dan terlarang dan siapapun akan dihukum berat jika ketahuan berada disana dan tidak memiliki kepentingan. Hidup dalam keseharian yang didikte dengan pukulan lonceng dan tatapan pengurus, loteng menjadi surga bagi siapapun yang ingin beristirahat dari hiruk pikuk aturan pesantren yang berjilid-jilid.
Jika sedang di loteng, gue menciptakan dunia gue sendiri. Dunia yang damai, dunia yang tidak peduli jarum jam, dunia tempat dimana melakukan sesuatu yang mustahil, bisa terjadi. Santri macam apa yang sedang merokok dan meminum kopi good day sambil tiduran menatap langit ketika masyarakat lain sedang khusyuk berdzikir?
Karena hidup pada akhirnya adalah tentang pilihan, setidaknya kita memiliki 2 opsi: membuat atau mengikuti.
Bagi yang kreatif, mereka akan cenderung untuk membuat daripada mengikuti. Menciptakan makna kebahagiaan sendiri, menciptakan makna kesuksesan sendiri, menciptakan dunia nya sendiri. Bagi yang rasional, mereka akan cenderung sebaliknya, yang tidak jarang menggunakan kata “realistis” sebagai kartu as.
Bagian menariknya adalah dua hal tersebut saling ketergantungan. Tidak akan ada pembuat jika tidak ada pengikut, begitupula sebaliknya.
Kehadiran teknologi informasi membuat peluang dan kesempatan baru untuk apapun yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mendapatkan kabar terbaru dari belahan dunia, yang sekarang, sekali lagi, mungkin hanya membutuhkan sekian menit. Untuk mendapatkan hiburan pun sudah tidak lagi harus berada di tempat hiburan, karena tempat tersebut sekarang mungkin hanya berjarak 5 cm dari pandangan, entah di samping tangan ataupun di saku celana.
Ada realita baru yang menjadi bagian hidup dari manusia: sebuah benda yang menjadi dunia mereka itu sendiri.
Dari benda tersebut mereka bisa mendapatkan kebahagiaan; kesedihan, pengetahuan, hiburan, bahkan uang makan. Tidak sedikit yang menggantungkan nasib dan hidupnya pada benda tersebut, termasuk seseorang yang menerbitkan tulisan yang ada di layar kalian pada saat ini.
Terlepas si pembuat atau pengikut, setiap orang akan mengambil peran.
Dan jika tidak, besar kemungkinan akan disebut “ketinggalan zaman” yang tidak jarang diartikan sebagai “kemunduran” alih-alih, idk, bertahan?
Realitas virtual
Bangun pagi di hari kerja untuk “orang kantoran” umumnya diawali dengan mandi, sarapan, lalu mulai bepergian ke sebuah tempat bernama kantor. Jalanan macet adalah pemandangan sehari-hari, dan teriknya cuaca beserta kotornya udara adalah keluhan umum untuk yang mengadu nasib di perkotaan.
Lalu pada suatu hari para pekerja kantoran tersebut sudah tidak perlu lagi bepergian. Jarak tempuh antara rumah dan “kantor” hanya disekat oleh pintu. Ada sebuah benda aneh di kepalanya, dan dalam sekejap dia berada di ruangan meeting lengkap dengan fasilitas untuk menunjang pekerjaan.
Tidak ada terik matahari yang dipantulkan dari bangunan berkaca yang membakar kulitnya, tidak ada udara yang bercampur dengan asap dari kendaraan berbahan bakar minyak yang dihirup, dan tidak ada waktu yang terbuang di perjalanan.
Disamping itu, tidak ada keluarga yang ditinggalkan ketika sudah masuk jam kerja.
Menikmati hiburan pun mungkin sudah tidak perlu pergi ke bioskop, atau pergi ke bar, atau pergi ke pantai. Semuanya dapat dijangkau melalui benda aneh yang dipasang di kepala tersebut, sekalipun terkadang ruang menjadi batasan untuk di beberapa kondisi.
Namun pada akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan di dunia fisik mustahil dilakukan di dunia virtual.
Teknologi realita virtual sejauh ini hanya bisa memproyeksi apa yang bisa dilihat & didengar, dan mungkin tinggal menunggu waktu untuk bisa membuat penciuman; pengecapan dan perabaan terjadi.
Salah satu perubahan yang disebabkan oleh teknologi yang pernah gue alami adalah dalam menikmati hiburan berbentuk video di rumah. Sebelumnya, video umumnya dimainkan di sebuah alat bernama “CD/DVD player” menggunakan sebuah media dalam bentuk piringan. Siapa yang menyangka jika video tersebut sekarang dapat dimainkan melalui sebuah sinyal yang ditransmisi melalui kabel, yang terhubung ke sebuah perangkat, dan tanpa perlu alat khusus untuk memutarnya?
Mungkin 30 tahun yang lalu kondisi tersebut hanyalah sebatas khayalan.
Kembali ke realita virtual, salah satu alasan mengapa Metaverse diyakini bukan hanya sebatas teknologi realita virtual adalah metaverse dimaksudkan menjadi sebuah… semesta. Tempat segala peradaban, pengalaman, sejarah, dan keadaan terjadi.
Aktivitas yang umum dilakukan di dunia fisik, dari bersosial; bekerja, bersenang-senang, apapun, dapat terjadi di dunia virtual ini.
Jika di realita dunia fisik adalah tentang dunia yang dikelilingi oleh benda-benda fisik, seharusnya sudah tahu jawabannya jika untuk di dunia virtual.
Penutup
Gue salah satu yang pesimis dengan dunia virtual. Atau realita virtual. Atau Metaverse. Terlepas pro dan kontra yang ada.
Mungkin teknologi informasi membuat hidup manusia menjadi lebih baik, dan sebagaimana dalam menyambut inovasi, akan terdapat banyak peluang dan kesempatan yang seharusnya muncul.
Jika teknologi informasi memang membuat hidup manusia menjadi lebih baik, gue mempertanyakan mengapa banyak nasihat untuk “going offline”, “living off the grid”, dan apapun gaya hidup yang memisahkan manusia dengan teknologi, cukup populer?
Mengapa “kecanduan teknologi” menjadi sesuatu?
Dan, goooood, dimana ada kolom komentar disitu ada peperangan. Media sosial lebih terlihat seperti platform pemecahan sosial alih-alih untuk menghubungkan.
Tapi teknologi tidak hanya sebatas dunia digital, dan dunia digital tidak hanya sebatas internet, dan internet, tidak hanya sebatas media sosial.
Ada sisi lain dari hal diatas yang lebih baik, buruk, dan yang paling buruk.
Penyakit umum dari sesuatu yang baru adalah takut perubahan. Beberapa yakin ini mengarah ke “takut keluar dari zona nyaman” tapi beberapa yakin ini adalah tentang mempertimbangkan “perubahan yang mengarah ke yang lebih baik atau ke yang lebih buruk”.
Sebagai penutup, gue sedang memerhatikan sebuah benda berwarna hitam yang disebut ponsel. 15 tahun yang lalu, benda ini terlarang. Tidak ada yang boleh membawa benda ini, dan akan dihancurkan dengan palu bagi siapapun yang melanggarnya.
Benda ini dapat menghasilkan kebahagiaan; kesedihan, kekhawatiran. Benda ini menjadi dunia untuk sebagian orang. Benda ini dimaksudkan sebagai alat untuk menghubungkan manusia, tapi ada banyak kesempatan dan peluang yang dapat dieksplorasi alih-alih hanya sebatas sebagai alat komunikasi.
Di beberapa kasus, benda ini mengubah makna realita menjadi tentang apa yang ditangkap oleh kamera, bukan sebatas apa yang dilihat oleh indera penglihat. Dan keluarannya membuatnya menjadi lebih liar.
Teknologi diyakini seperti pisau bermata dua, in fact, segala sesuatu pasti seperti pisau bermata dua.
Jika suatu hari realita adalah kenyataan yang benar-benar ada dan terjadi di dunia virtual dan apa yang ada di dunia fisik hanyalah khayalan, entahlah, tidak ada lagi alasan untuk menolak dogma jika dunia ini hanyalah fatamorgana.
Dan bagaimanapun, perubahan zaman pada akhirnya adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.