Setiap orang gue rasa memiliki pengertiannya sendiri dalam mengartikan arti zona nyaman. Untuk gue—berdasarkan pengalaman—setidaknya ada 3 bagian yang berkaitan dengan zona nyaman ini: lokasi, profesi, dan kualitas diri.
Tidak jarang kita mendengar kata “keluar dari zona nyaman”, yang padahal tinggal di zona nyaman tersebut terasa… nyaman. Terlebih, tidak jarang untuk bisa berada di zona tersebut harus melewati banyak rintangan yang mungkin tidak mudah. Jadi, kenapa harus keluar? Seperti, anggap lo sudah bersusah payah untuk bisa berada di surga. Lalu pada suatu waktu ada seseorang memberikan ceramah motivasi yang berujar “keluarlah dari zona nyaman kalian!” dan lalu mungkin lo memakan buah khuldi dan dilemparkan ke dunia lagi sebagai batu loncatan pertama untuk bisa keluar dari zona nyaman tersebut. You may win but at what cost?
Anyways, dari 3 bagian tersebut, yang menjadi parameter utama gue adalah titik jenuh. Titik jenuh sederhananya mungkin seperti sebuah kondisi dimana sudah tidak lagi terjadi pertumbuhan atau perkembangan. Atau mungkin singkatnya adalah sebuah keadaan yang terhenti. Alias stagnan. Selain itu, ada faktor eksternal lain yang mungkin didorong oleh pihak ketiga.
Ada benang tipis yang menjadi pembeda antara stagnan dan stabil, yang mungkin cukup fatal jika salah mengerti, meskipun maknanya gue rasa cukup mirip. Contoh paling gampang gue rasa jika berkaitan dengan uang. Misal, lo punya uang 5,000,000 tunai. Uang 5jt tersebut, selama 5 tahun akan tetap menjadi 5jt. Tidak naik, tapi tidak juga turun. Pergerakan terhenti ketika lo menyimpan uang tunai tersebut di sebuah brankas. Itu contoh stagnan.
Beda dengan, misal, uang 5jt tersebut lo simpan dalam tabungan.
Dalam 5 tahun, dengan interest 5% p.a, seharusnya menjadi 6.250.000. Mungkin 6,250,000 di tahun 2027 tersebut senilai dengan apa yang bisa dibeli seharga 5,000,000 pada tahun 2022 atau mungkin di tahun 2025 somehow malah hanya senilai 4,500,000 for some reason. Dan yang lo tahu, lo menyimpan uang 5jt di tabungan, terlepas bagaimana pergerakan nilai yang ada di tabungan tersebut, lo tahu dia pasti bergerak, dan seharusnya terus bertambah sebagaimana yang dijanjikan.
Kembali ke topik, yang bisa menentukan “stabil” dan “stagnasi” yang ada pada diri kita pada akhirnya hanyalah diri kita sendiri. Mungkin lo berada di kondisi stabil setelah berbagai naik-turun yang terjadi, atau mungkin lo berada di kondisi stabil dan ingin mendapatkan tantangan baru lagi. I don’t know. Terlepas bagaimana kondisi lo, here’s my story.
Lokasi
Perpindahan pertama kali yang gue rasakan adalah ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama. Pertama kalinya gue terpisah dengan keluarga dan orang tua, meskipun jaraknya hanya Pandeglang-Serang, yang dilanjutkan sampai Sekolah Menengah Atas.
Selama 6 tahun gue dituntut untuk hidup jauh dari orang tua. Aktivitas sehari-hari pun berubah 180 derajat setelah gue menginjakkan kaki pertama kali di sebuah tempat bernama pesantren. Di hari pertama masuk pesantren, gue diantar keluarga lengkap. Makan makanan favorit gue, mengobrol dengan adik-adik gue, dan bermain internet di HP sampai puas. Karena ketika waktu sudah mewajibkan mereka untuk kembali ke rumah, kehidupan akan berubah, dan tidak akan pernah sama seperti pada saat itu.
Tidak cukup 6 tahun di Pandeglang, setelah SMA gue pergi ke Bandung untuk melanjutkan studi. Orang tua gue tidak mengizinkan untuk mengambil perkuliahan di daerah Serang karena sebuah alasan, dan nama tempat yang mereka rekomendasikan adalah Bandung, mungkin karena semua keluarga besar dari bokap dan nyokap gue berkuliah disana. Ketika mereka kembali ke Serang setelah mengantar gue, kondisi berbeda ketika pertama kali gue berpisah dengan mereka untuk alasan studi juga. Tidak ada rasa kehilangan yang mendalam, tidak ada rasa kesepian yang akan menghantui, dan yang paling penting, sudah tidak ada lagi tangisan. Gue sudah siap pergi dan ditinggal kemanapun, selagi demi kebaikan mereka dan khususnya diri gue.
Sudah sekitar 7 tahun di Bandung, dan di tahun ketujuh ini gue mulai berpikiran bahwa sudah tidak lagi merasakan perkembangan. Tidak ada teman baru, tidak ada pekerjaan baru, tidak ada pemandangan baru. Perubahan yang gue rasakan hanyalah slip gaji dan sisanya hampir sama seperti di tahun 2019. Pada tahun 2018 gue sempat pindah ke daerah Gegerkalong untuk sekaligus mencari suasana baru, dan karena sebuah alasan pada tahun 2019 gue kembali lagi ke daerah Coblong sampai tahun 2022. Tentu stagnansi yang terjadi pada diri gue kesalahannya pada diri gue sendiri, tapi pada akhirnya, lingkungan selalu membentuk diri kita. Itulah alasan mengapa orang-orang top tier university, ex-silicon valley, dan siapapun itu, yang membanggakan darimana dirinya berasal, karena lingkungan akan membentuk diri mereka. Orang bijak pernah berkata *“pelaut yang handal tidak lahir dari laut yang tenang” *because it is.
Pertengahan tahun 2022 gue memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Gue tahu kalau gue harus mengurus perpindahan lagi, beradaptasi lagi, mengingat jalan dan nama-nama tempat lagi, dsb. Gue tahu kalau nanti di hari pertama ketika sudah pindah ke Jakarta, gue akan merasakan kesepian; merasakan perasaan aneh karena tidak terbiasa, dan mempertimbangkan untuk kembali ke tempat asal karena perasaan aneh tersebut. Tapi gue tahu itu hanyalah masa transisi.
Perasaan yang sama ketika pertama kali masuk pesantren, ketika pertama kali hidup di Bandung, ketika pertama kali berkarir, ketika pertama kali pindah kos.
Dan gue tahu, perasaan itu tidak akan terasa selamanya. Pada akhirnya gue pun akan terbiasa, sampai gue merasa sudah tidak merasakan perkembangan lagi di kota ini. Kota Jakarta gue pilih karena gue tidak ingin kembali ke Serang sedangkan tidak ingin terus tetap di Bandung. Bukan berarti gue tidak ingin kembali, hanya tentang waktu. Jakarta menjadi pilihan gue karena sebagian besar tujuan mereka pergi ke kota ini adalah untuk mengadu nasib. Sebagai ibukota negara, Jakarta (setidaknya sampai hari ini) memiliki infrastruktur yang cukup kaya daripada kota-kota lain, yang sekaligus menjadi alasan untuk menarik orang-orang dari berbagai tempat untuk hidup di Jakarta.
Jika merujuk ke industri tempat gue berkarir, komunitas di Jakarta lebih banyak daripada di daerah lain. Tidak sulit untuk menemukan orang yang memiliki hobi ataupun memiliki pekerjaan yang sama selagi mengetahui tempat mereka berkumpul, dan disini tempat tersebut relatif lebih banyak dari daerah lain.
Bagian yang ingin gue pelajari dari kota ini adalah tentang gaya dan cara hidup sebagaimana orang-orang yang tinggal di ibukota negara. Dari cara dan gaya bersosial, bersenang-senang, bertahan hidup, apapun. Jika suatu saat gue harus hidup misal di ibukota negara lain, setidaknya gue sudah memiliki sedikit gambaran meskipun pastinya sangat berbeda. Dan yang membedakan suatu daerah dengan daerah lain gue rasa adalah masyarakatnya, gaya dan cara mereka hidup. Tidak jarang juga kita mendengar “liat tuh pasti orang Jakarta”, “orang baduy nih pasti”, dan semacamnya dari melihat gaya dan cara mereka berperilaku.
Entah sampai kapan gue berada di kota ini, yang pasti tidak akan selamanya.
Profesi
Pada tahun 2015, gue memutuskan untuk fokus ke dunia Frontend Development. Sebelumnya gue adalah seorang Fullstack Developer, dan tidak jarang mengambil pekerjaan “sysadmin” untuk membantu klien memasang LAMPP ataupun LEMP.
Salah satu pertimbangan terbesar gue adalah ingin menjadi spesialis. Gue rasa di usia muda lebih mudah berkarya sebagai spesialis daripada generalis.
Tidak sedikit dunia yang gue tinggalkan. Dari Ruby dan Ruby On Rails (of course), PHP, Laravel, Codeigniter, MySQL, Capistrano, RSpec, dsb. Dan memfokuskan diri ke JavaScript, JavaScript, dan JavaScript. Tidak lupa untuk menguasai juga beberapa tools populer di ekosistem tersebut, untuk alasan ehm pasar dan spesialisasi.
6 tahun keep in track dengan frontend development, bagian yang paling menariknya adalah di komunitas. Anggota di komunitas ini memiliki berbagai masalah unik dan menantang yang berkaitan dengan frontend development, dan membagikannya, sambil mencari solusinya, di berbagai skala. Komunitas ini terasa sangat hidup dan vibrant sampai teknologi frontend development sudah berada di titik jenuh seperti sekarang berkat infrastruktur yang semakin kaya.
Namun gue pribadi sudah tidak melihat masa depan sebagai Frontend Developer lagi, meskipun title gue adalah seorang Software Engineer. Akan selalu ada tantangan dalam frontend development, akan selalu ada inovasi, dan akan selalu ada masalah baru yang menarik untuk dimiliki.
Gue hanya tidak melihat ada diri gue disana.
Dulu gue pernah membayangkan bagaimana rasanya membuat Developer Experience di frontend development dalam tim gue terasa menyenangkan, dulu gue pernah membayangkan bagaimana kompleksnya mengembangkan sebuah aplikasi yang berurusan dengan data yang kompleks.
Di tahun ini gue sudah tidak membayangkan apa-apa lagi. Gue hanya melihat bahwa tanggal 25 nanti gajian dan setiap sprint akan mengembangkan fitur baru dan fix bug. Hanya itu. Tidak ada lagi energi untuk R&D dalam frontend development sebagaimana dulu, tidak ada lagi energi untuk membagikan “apa yang gue pelajari” dari frontend development sebagaimana biasanya, dan tidak ada lagi energi untuk berkomunitas dalam dunia frontend development.
Energinya sudah habis, dan nampaknya sudah tidak bisa lagi diisi oleh gue.
Bulan kemarin gue mengajukan perpindahan posisi. Gue jabarkan apa tanggung jawab gue dan dampaknya ke perusahaan, value yang bisa gue berikan kepada perusahaan (vice versa), serta apa hal baru yang bisa gue pelajari dari posisi tersebut.
Dan tentu saja alasan mengapa gue “qualified” dengan posisi tersebut.
They’re very positive, terlebih gue salah satu person in charge untuk hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pertimbangan dari gue cukup berat. Pertama, gue reset pengalaman kerja gue. Kedua, posisi ini relatif baru dan segar. Daaan relatif langka khususnya di Indonesia. Ketiga, gue belum ada kenalan yang bekerja di posisi ini juga. Dan terakhir, gue harus meninggalkan frontend development.
Membuat aplikasi adalah sesuatu yang menyenangkan. Bayangkan jika lo mengembangkan aplikasi X dan kerabat ataupun orang tua lo menggunakan aplikasi tersebut, terus lo bisa bilang “itu pencarian aku yang bikin loh” dengan bangga, karena bisa membantu mereka menemukan apa yang mereka cari.
Tapi yang paling gue sayangkan adalah gue tidak bisa bertindak sebagai “spesialis” lagi di frontend development. Of course gue mungkin bisa tahu tentang apa-apa yang berkaitan dengan frontend development, tapi spesialis lah yang pastinya paling tahu.
Gue sedikit melihat masa depan dengan posisi baru gue nanti, meskipun masa depan tersebut relatif kurang realistis. Tapi gue cukup optimis, karena hanya usaha dan doa yang bisa mewujudkan harapan.
Pengembangan diri
Ini yang paling gue males.
Gue selalu membenci diri gue di masa lalu, dari tahun ke tahun.
…yang seharusnya justru menjadi sesuatu yang baik.
Dulu, hubungan gue dan keluarga cukup renggang. Pada suatu waktu, gue harus memperbaikinya karena yang membuat jarak tersebut adalah diri gue. Gue menyesal pernah membuat jarak tersebut, tapi setidaknya gue mendapatkan sebuah pelajaran.
Dulu, gue cukup egois. Sangat egois. Mungkin tidak masalah jika konteks hanya memikirkan diri sendiri ini untuk sesuatu yang tidak dilakukan bersama, namun beda cerita jika sebaliknya. Sebuah hubungan seharusnya tentang dua orang. Dan gue rasa bukan tentang always me, bukan tentang always you, bukan hanya tentang ‘tolong ngertiin aku’. Kesalahan gue yang paling gue sesalkan adalah hubungan yang dominan. Gue selalu meminta untuk dingertiin bahkan tanpa harus membicarakannya. Gue selalu meminta partner gue dulu untuk mengikuti apa yang gue inginkan. Dan yang paling gue inget, ada dan tidak adanya gue menurut partner gue sama saja. Entah apakah gue masih menjadi orang yang seperti itu atau tidak, setidaknya gue sudah menyadari kesalahan-kesalahan tersebut.
Dan gue yakin harusnya gue sudah tidak menjadi seperti itu lagi (in case anyone is asking).
Dulu, gue cukup anti sosial. Lebih sering menutup diri dan menghindari berbaur. Terlalu meyakini “if they will come, they will come” hanya karena gue malas menghampiri. Terlalu membatasi lingkup sosial gue karena malas memelihara pertemanan.
Masih banyak hal-hal yang tidak gue sukai dengan diri gue di masa lalu, dan gue yakin itu bisa diubah jika gue memang ingin merubahnya, yang pada akhirnya harus gue lakukan juga selagi baik untuk diri gue.
Merubah sifat bukanlah hal yang mudah. Gue bisa saja bertahan dengan sifat egois gue dan menggunakan “gue mah gitu orangnya” sebagai tameng.
Tapi gue merasa itu tidak baik untuk orang lain, dan khususnya untuk diri gue.
Pertimbangan utama gue—terlepas dari titik jenuh tersebut—ketika memilih untuk “meninggalkan zona nyaman” ini adalah “Is it worth it?“.
Dan jika yang gue bandingkan adalah sesuatu yang sudah terjadi dengan sesuatu yang belum terjadi, jawaban gue akan selalu “yes” selagi itu masuk akal.
Gue tidak terlalu bermasalah jika hasil yang ada tidak sesuai dengan harapan, yang penting gue sudah mencobanya, mengetahuinya, dan yang paling penting sudah berusaha semaksimal mungkin.
Di umur yang masih relatif muda seperti sekarang gue rasa gue belum cocok dengan kondisi yang nyaman. Gue masih ingin melakukan hal-hal baru, hal-hal yang sebelumnya belum ada waktu ataupun kemauan ataupun keberanian untuk dilakukan, hal-hal yang menyertakan emosi dari marah; bahagia, sedih, menyesalkan, hal-hal yang tidak akan bisa gue lakukan dikehidupan selanjutnya selagi masih dibatas norma, hal-hal yang bisa menemukan jati diri gue, hal-hal yang bisa memberikan gue pelajaran yang tidak gue dapatkan dari hasil pembelajaran orang lain.
Tentu saja rasa capek pasti ada, tapi setidaknya gue sudah tahu apa yang harus gue lakukan ketika rasa tersebut muncul.
Gue orang yang relatif sulit untuk bosan, dan jika rasa itu sudah muncul, berarti gue sudah benar-benar merasakannya.
Keluar dari zona nyaman bagi gue seperti terus bermain game di level tertentu, sampai gue memutuskan kapan gue harus beranjak ke level selanjutnya. Bukan hanya karena sudah bosan, ataupun sudah dan hafal. Gue hanya merasa bahwa gue pantas untuk merasakan level selanjutnya, dan gue tahu pasti level tersebut akan terasa berbeda, dan gue pantas mendapatkan perubahan.
Selamat Hari Pancasila.