Semakin dewasa gue semakin sadar bahwa waktu dan kesempatan yang gue miliki semakin berkurang. Dan somehow udah males dengan adanya drama, entah karena sudah bosan atau karena sudah capek.
Drama hampir terjadi di berbagai lapisan kehidupan, di pekerjaan; pertemanan, percintaan, keluarga, sampai ke sesederhana internet mati pas lagi netflixan. Ada banyak cara tanggapan yang bisa gue pilih, tapi kebanyakan tanggapan yang gue ambil adalah “yaudah lah ya”.
Sekilas tanggapan tersebut terlihat seperti pasrah, tapi pasrah adalah tentang tidak melakukan apa-apa. Seperti, ketika internet brengsek ini masih mati ketika gue nonton sekarang pada saaat ini sekalipun udah gue cek & restart DNS; cek & restart perangkat, dan cek & restart router, apalagi yang bisa gue lakukan selain yaudah lah ya?
Dan itu bukan pasrah. Ada sesuatu yang bisa dan tidak bisa kita kontrol, dan gue sudah melakukan bagian gue. Mungkin gue bisa aja bikin drama, marah-marah di Twitter nyalahin penyedia internet yang gue gunakan sambil skrinsut persentase *packet loss *dari hasil ping, tapi pada akhirnya meskipun gue gak marah-marah di Twitter pun internet gue akan kembali normal.
…seperti saat ini dan gue udah kagak mood buat lanjut nonton lagi.
Oke somehow marah-marah dapat membuat lega, tapi gue rasa untuk bisa lega marah-marah bukanlah satu-satunya cara.
Di konteks lain, misal pertemanan. Gue udah males drama-drama di pertemanan, kalau mau berteman dengan gue ya ayo kalau kagak ataupun udah gak mau, yaudah. Kalau ada sesuatu yang bisa diperbaiki mari perbaiki, kalau gak mau diperbaiki, yaudah. Itu hak lo. Gue gak akan menghalangi pintu keluar untuk mereka yang berusaha keras ingin keluar.
…pertemanan gue sejauh ini lumayan tenang-tenang aja, dan yang tadi cuma sebatas sebagai contoh.
The farewell(?)
Gue dulu memandang buruk sebuah perpisahan, karena gue pribadi membenci itu. Namun pandangan gue berubah saat gue sadar bahwa gue sendiri yang menjadi subjeknya.
Bermula dari perpisahan dengan orang tua ketika gue menimba ilmu di sebuah sekolah yang menerapkan sistem asrama. Gue ingat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah tempat bernama pesantren dan berpisah dengan orang tua gue. Saat gue merasakannya dulu, gue merasa benci. Sangat benci. Tidak ada yang bisa gue lakukan terhadap mengatasi kebencian tersebut selain menangis.
Gue yakin orang tua gue pun tidak ingin berpisah dengan anak pertamanya selama 6 tahun, tapi bagaimanapun ini adalah pilihan yang terbaik untuk gue dan orang tua gue. Dan sampai hari ini gue merasa tidak menyesal di sekolahkan ke pesantren.
Dilanjut dengan perginya gue dari kampung halaman ke sebuah kota bernama Bandung yang lagi-lagi untuk menuntut ilmu. Semenjak perpisahan pertama itu, gue sudah berdamai dengan diri gue dan tidak akan menahan seseorang yang berusaha keras untuk pergi, demi kebaikannya.
Ya, gue tidak menahan diri gue untuk tidak pergi, demi kebaikan gue sendiri.
Hal yang paling sering dialami dalam urusan “perpisahan” ini pertama di pekerjaan. Manusia datang dan pergi. Ketika ada teman kantor gue yang memutuskan untuk pindah kantor, gue tidak akan merasa sedih dengan keputusan yang sudah dia pilih. Itu pasti keputusan terbaik dia yang sudah dia pikirkan sangat matang. dan yang pasti untuk kebaikan dia juga. Tentu gue merasa sedih—khususnya bila gue sangat dekat dengan dia—karena gue dan dia sudah tidak bisa bekerja bersama kembali, tapi gue akan lebih memilih “good luck for whatever next” daripada “yaah sedih blabla” karena itu adalah sebuah perayaan, bukan perpisahan.
Gue memikirkan ulang konsep perpisahan yang dibanyak kasus ternyata lebih cocok disebut sebagai perayaan.
Contoh lain yang sering dialami juga adalah di percintaan. Kasusnya hampir sama dengan paragraf sebelumnya, namun konteks hubungannya adalah perasaan daripada pekerjaan. Terkadang kita merasa sulit untuk meninggalkan ataupun ditinggalkan, namun bagaimanapun mungkin itu adalah jalan yang terbaik.
Mungkin hubungan yang ada terkesan toxic dan tidak ada yang bisa diubah karena salah satu pihak tidak benar-benar ingin berubah. Mungkin hubungan yang ada berat sebelah sehingga yang merasa diuntungkan hanya satu pihak. Masih banyak lagi kemungkinan yang ada, namun intinya selalu mengarah ke perpisahan yang tidak jarang terasa menyakitkan.
Entah kita yang menjadi pelaku ataupun korban, bagaimanapun kita tidak bisa terus egois baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain, demi kebaikan diri sendiri ataupun orang lain.
Dan perpisahan adalah bentuk perayaan, untuk kebaikan diri sendiri ataupun orang lain. Segala sesuatu selalu memiliki *tradeoff, *dan tugas kita adalah memilih yang terbaik untuk kita.
Sebagai penutup, kepada siapapun yang sedang merasakan sakitnya perpisahan, relakanlah. Jangan menutup pintu keluar untuk mereka yang berusaha keras ingin keluar.
Dan untuk siapapun yang sedang tidak terima dengan apa yang sedang terjadi, berbesar hatilah. Segala sesuatu terjadi pasti karena sebuah alasan dan pasti ada alasannya, dan pada akhirnya kita akan mengetahuinya jika memang itu cukup berdampak.
Que sera, sera.
Apa yang terjadi, terjadilah.
Ketahui apa yang bisa dan tidak bisa diperbaiki serta mana yang bisa dan tidak bisa dikontrol, maka seharusnya kita bisa lebih sedikit mengkhawatirkan atas apa yang akan terjadi, baik yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan.
The future’s not ours to see.
So, good luck for whatever comes next, everyone!