Tinggal tidak bersama keluarga adalah hal yang lumayan berat namun bagian yang paling menyebalkannya adalah pay my own fucking bills dari listrik, properti, internet, makan, sampai perkara bayar uang kebersihan.
But anyway, itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari khususnya sebagai ehm orang dewasa. Dan konteks dari tulisan ini bukan tentang tagihan yang harus dibayar setiap bulan karena hidup di dunia yang brengsek ini lebih brengseknya lagi tidak gratis.
Melainkan tentang rumah.
Dan ya, bukan tentang rumah secara fisik apalagi sebuah direktori dengan alias tilde.
Melainkan sebuah tempat untuk kembali.
Ketika waktu sudah menunjukkan jam 18.00, tempat apa yang akan dikunjungi selanjutnya setelah tempat kerja? Besar kemungkinan jawabannya adalah rumah.
Rumah adalah tempat untuk pergi dan kembali.
Ada yang menunggu kepulangan penghuni rumah ketika sedang ditinggalkan, baik itu keluarga; kerabat, dll sekalipun itu adalah sebuah galon yang randomly gue elus-elus ketika mengisi botol dengan air yang mana membantu gue untuk tetap hidup.
Rumah seharusnya menjadi tempat yang nyaman, menenangkan, dan… selalu dirindukan, pastinya. Kemungkinan besar sisa hidup gue akan dihabiskan di sebuah tempat bernama rumah ini, yang berarti mengapa gue harus berusaha keras untuk tinggal di rumah yang tidak nyaman; tidak menenangkan, apalagi membuat risih untuk pulang alih-alih merindukannya?
Karena hal itu gue berusaha keras untuk membuat sesuatu yang gue sebut rumah ini senyaman mungkin, semenangkan mungkin, dan membuatnya selalu gue rindukan entah bagaimanapun caranya.
Rumah tempat gue tinggal pada saat mengetik tulisan ini lebih baik dari yang sebelumnya dalam konteks ruang & privasi. Tidak banyak yang berubah dari yang sebelumnya, hanya TV dan AC yang hanya menambah budget untuk tagihan listrik bulanan gue.
Tapi gue mendapatkan ruang dan privasi yang lebih luas disini daripada yang sebelumnya — which is nice.
Tidak banyak perabotan yang ada disini, hanya sampah-sampah gue seperti server; router, ethernet switch, dan nintendo switch serta sebuah layar monitor berikut dengan printilannya seperti webcam dan keyboard.
Tapi gue nyaman dan merasa tenang.
Kebosanan gue bisa diakali dengan bermain beberapa permainan di nintendo switch ataupun menonton video random di youtube/netflix, dan sirkulasi suara disini pun lumayan oke jadi lumayan bisa membuat tenang.
Ada satu hal yang belum gue dapatkan: Gue tidak merindukan tempat ini ketika gue meninggalkan tempat ini.
Justru adalah tempat lain yang selalu gue rindukan.
Dan tempat itu menariknya tidak disebut dengan rumah.
Gue memiliki rencana untuk menjadi seorang “nomaden” pada suatu hari nanti. Alasannya sederhana, gue ingin melihat dan mempelajari hal baru dari lingkungan; budaya, dan tempat plus gue rasa pekerjaan gue mendukung untuk bisa melakukan hal itu jadi mengapa tidak.
Gue sudah terbiasa untuk tinggal disebuah tempat yang bersifat sementara, jadi gue rasa juga menjadi seorang nomaden selama waktu yang belum ditentukan bukanlah hal yang cukup berat.
Pindah tempat tinggal bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya karena ribet, melainkan ada beberapa hal yang nantinya akan ditinggalkan dan yang mana mungkin tidak bisa dirasakan lagi bila sudah di tempat lain.
Selain itu, belum tentu tempat selanjutnya lebih baik dari yang sebelumnya ataupun setidaknya sama seperti sebelumnya, dan tentu saja kita selalu benci dengan ketidakpastian.
Tapi bagian yang paling menarik adalah di ‘kenangan’. Sudah sekitar 6x gue pindah tempat tinggal, ada kenangan yang masih gue inget dari kejadian yang biasa aja sampai ke kejadian tolol shubuh-shubuh ada yang bisikin gue buat bersihin kamar mandi pas gue lagi anteng menulis kode.
Namun kenangan biasanya terasa sangat bermakna bukan karena “ngapain” melainkan “siapa”.
Ketika lo melihat salah satu hotel random yang ada di pulau Jawa misalnya, yang terlintas harusnya bukanlah “ngapain disana” melainkan “dengan siapa” nya.
Saat gue pindah kos, ada orang-orang yang gue tinggalkan. Dari yang pertama teman kampus, lanjut ke teman & ob kantor, teman SMP, sampai ke yang paling terakhir penjaga kosan gue yang gak pernah marahin gue sekalipun sering melanggar peraturan yang dibuat oleh manajemen kosan.
Bagaimapun people come and go.
Gue tidak pamit dan bilang ‘selamat tinggal’ kepada mereka karena gue masih ada di dunia ini sedangkan gue hanya pindah tempat tinggal. Mereka bisa menghubungi gue kapanpun (kalo gue lagi gak males buka hp), mengajak ketemu kapaun (kalau gue lagi gak mager) dan berkomunikasi melalui layanan perpesanan instan sekalipun hanya untuk basa-basi menanyakan kabar (klo lagi gak males buka WhatsApp).
Jika suatu saat memiliki kesempatan lagi untuk bisa bersama kembali dan selagi pintu tidak tertutup, mengapa memilih untuk tidak masuk?
Tempat tinggal gue yang sekarang bagaimanapun tidak akan dihuni selamanya.
Suatu saat, ketika sudah waktunya, gue akan meninggalkan tempat tinggal ini beserta apapun yang sudah terjadi disini lalu berpindah ke tampat lain.
Sejauh ini tidak ada yang memaksa gue untuk harus tinggal dimana, gue beruntungnya memiliki kontrol untuk bisa/ingin tinggal dimana berikut dengan alasannya.
Terkadang ada pertanyaan yang terlintas tentang “mengapa pindah tempat tinggal?” yang sejujurnya gue tidak memiliki alasan lain selain mencari “yang lebih”.
Karena bagaimanapun gue akan selalu menemukan yang lebih.
Lalu, apa yang akan memberhentikan gue nanti?
Gue melihat ke sekeliling ruangan, ada barang-barang yang menjadi saksi akan perjalanan hidup gue. Dari server, router, laptop, perangkat genggam, sepatu, sleeping mask, keyboard, buku-buku, dsb.
Sambil mengetik ini, gue membuka direktori bernama Memories
yang tersimpan di NAS gue. Ada direktori bernama 2019
, 2020
, dan 2021
disana yang berisi berkas-berkas bertipe media yang kebanyakan adalah foto. Bagian yang paling menariknya, foto-foto tersebut, sekali lagi, bukan tentang “ngapain” melainkan “siapa” terlepas di berkas tersebut bergambarkan sedang di Jogja, Jakarta, Malang, Semarang, Bali, dan pastinya Bandung yang mana sedang melakukan aktivitas apapun itu.
“Mereka pun termasuk saksi akan perjalanan hidup gue” ucap gue dalam hati, biar keliatan lebih dramatis aja gue tambahin paragraf ini.
Dari berbagai manusia yang tersimpan di sebuah foto di direktori tersebut, masing-masing pastinya melanjutkan kehidupannya. Ada yang melanjutkan hidup dengan berkarir di Banten, di Jakarta, di Bandung, ada yang memutuskan untuk berkeluarga, dsb.
Kehidupan berhenti hanya sebatas di foto tersebut, dari duduk berdua di Ekologi; berpamitan di Stasiun KAI Bandung, mirror selfie di harris fX Sudirman, dsb.
Mereka pernah menjadi sesuatu yang bisa gue sebut sebagai “rumah” tanpa bermaksud mengobjektifikasi mereka. Mereka pernah menjadi sebuah tempat yang sangat nyaman, menenangkan dan selalu gue rindukan pada masanya.
Dan seperti rumah, mereka menjadi tempat terakhir dalam menutup hari.
Sayangnya, hanya sebatas tempat untuk pergi.
Tanpa kembali.
Karena tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa bersama dan sayangnya pintunya tertutup.
Hidup seperti nomaden berarti hidup tanpa memiliki tempat tinggal yang biasanya bernama rumah. Melainkan hanya tempat singgah yang biasanya bersifat sementara.
Gue secara pribadi pada saat ini sudah tidak peduli memiliki rumah termasuk konsep “dream house/home” yang biasanya dimiliki oleh mereka yang memiliki keinginan memiliki rumah.
Memiliki tempat yang nyaman, menenangkan, selalu dirindukan, adalah hal yang membahagiakan untuk dimiliki. Apalagi memiliki tempat untuk kembali, baik untuk memulai ataupun menutup hari.
Sayangnya itu bersifat sementara, dan suatu saat gue akan meninggalkannya lagi entah karena alasan apapun itu.
Sambil bepergian melihat dan mempelajari hal baru, terkadang gue membayangkan ketika ada seseorang yang mengetuk pintu tempat tinggal gue tanpa harus gue tunggu dibalik pintu seperti sebelumnya.
Lalu gue membuka pintunya dan mengucapkan “welcome home” as it should be karena pada saat ini gue memiliki harapan bahwa dia akan kembali.
Segalanya membutuhkan waktu dan ini hanyalah tentang waktu.
Untuk menutup hari gue memejamkan mata sambil membayangkan hal itu lagi pada hari ini.
“Knock, knock” tiba-tiba terdengar seperti suara pintu diketuk.
Tanpa bertanya “siapa?” gue membuka pintu untuk mengetahui siapa sosok dibalik pengetuk pintu tersebut.
Gue tersenyum.
Begitupula dia.
*“Kok bisa masuk kan gerbangnya dikunci?” *tanya gue penasaran.
*“Aku masih ada kunci dan sepertinya kebetulan gemboknya enggak diganti?” *jawabnya.
Gue tersenyum.
Begitupula dia.
*“Welcome home” *sambut gue.
*“Aku pulang” *ucapnyayang dilanjutkan dengan masuk ke dalam ruangan gue.
“I know” ucap gue dalam hati.
Lalu gue mengambil laptop yang berada di meja kerja gue untuk menulis sebuah tulisan yang gue beri judul “Rumah”, membuka sebuah aplikasi bernama iA Writer, dan mulai mengetik tulisan tersebut yang diawali dengan:
“Tinggal tidak bersama keluarga adalah hal yang lumayan berat namun bagian yang paling menyebalkannya adalah pay my own fucking bills dari listrik, properti, internet, makan, sampai perkara bayar uang kebersihan.”