Sekitar sebulan yang lalu gue membeli buku berjudul The Dip yang ditulis oleh salah satu penulis favorit gue yakni mas Seth Godin, walaupun gue jarang banget mampir ke blog nya untuk membaca tulisannya secara langsung lol.
Buku ini cukup ringkas, hanya 93 lembar secara keseluruhan. Versi yang gue baca adalah yang bahasa Indonesia, dan sejujurnya penerjemahannya cukup membosankan untuk seseorang yang lebih menyukai bahasa yang santai dan lugas.
Topik utama dari buku ini intinya adalah tentang “Kapan harus berhenti dan kapan harus terus”. Dan mungkin untuk beberapa orang—khususnya mereka yang terjun ke perdagangan mata uang kripto—sudah cukup familiar dengan istilah “The Dip” ini, berikut adalah contoh *meme *nya: is this even a meme lol Dari gambar diatas diasumsikan bahwa seseorang *terus *membeli sebuah koin sekalipun kondisi pasar sedang brengsek-brengseknya.
Dalam penentuan “kapan harus berhenti dan kapan harus terus” tersebut, setidaknya ada 2 parameter yang berperan: Usaha dan hasil. Jika digambarkan dalam sebuah kurva, pola the dip adalah seperti ini: The Dip Bagi yang kurang familiar dengan grafik kurva diatas, jika terdapat 2 sumbu seperti sumbu x (yang kasus diatas adalah Effort) dan y (yang kasus diatas adalah Results), biasanya sifatnya adalah perbandingan. Maksud kurva the dip diatas adalah, di awal-awal usaha, hasilnya terlihat cukup menjanjikan. Namun ketika semakin lama/besar berusaha, justru hasilnya malah terlihat menjadi meragukan dan terus meragukan.
Dari dua sumbu tersebut kita jadi bisa membandingkan “apakah usaha yang sudah kita lakukan sebanding dengan hasil yang kita dapatkan?“. Jawabannya selalu tergantung, namun dengan mengetahui pola The Dip ini, ia bisa membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut daripada hanya sebatas berdasarkan perasaan.
Hukum Rimba
Pada dasarnya, the dip ini sekilas berkaitan dengan hukum rimba: yang kuat, yang bertahan. Seperti, sebagaimana singa menjadi penguasa hutan dan hiu menjadi penguasa lautan. Dari kasus hukum rimba tersebut, usahanya adalah bertahan hidup dan hasilnya adalah menjadi penguasa.
Di kasus yang lebih nyata, anggap lo sedang memperjuangkan sesuatu. Mungkin tangga karir, atau hubungan asmara, atau jalan kaki dari mekkah ke madinah.
Oke anggap tangga karir yang relatif mudah digambarkan. Lo sudah memutuskan untuk ingin menjadi seorang supervisor, congrats! Banyak pertimbangan yang sudah lo buat sehingga lo bisa berada di titik untuk menentukan keputusan tersebut. Terlepas apapun pertimbangannya, dua faktor utama tersebut adalah yang pertama karena lo mampu dan kedua karena lo pantas mendapatkannya.
Lalu lo mulai melakukan usaha. Dari mempelajari apa yang biasa supervisor lakukan sampai ke mencobanya. Lambat laun, hasil sudah mulai terlihat. Mungkin lo mendapatkan kesempatan wawancara untuk mendapatkan promosi jabatan, dan itu sebuah progress dari usaha yang sudah dikerahkan.
Anggap hasil dari wawancara tersebut tidak sesuai harapan lo. Hasil wawancaranya adalah lo gagal menjadi seorang supervisor karena ada orang lain yang lebih pantas mendapatkannya pada saat itu. Ya, karena jika sesuai harapan kita harusnya tidak perlu membahas panjang lebar tentang the dip ini HAHAHA.
Anyway, dari sini, pola the dip akan mulai terlihat. Dari yang sebelumnya usaha berbanding lurus (linear) dengan hasil di korelasi positif (menaik), sekarang malah menjadi korelasi negatif (menurun) karena hasilnya terlihat tak sesuai dengan usaha yang sudah lo keluarkan.
The dip disini mulai berperan.
Lo bisa memilih berhenti dan menguburkan keinginan untuk menjadi seorang supervisor.
Atau lo bisa memilih untuk gas terus sampai bisa menjadi seorang supervisor.
Dan sekarang kita mulai masuk ke topik utama.
Yakni jawaban “Apa pertimbangan dalam memilih keputusan tersebut?”
Knowing the curve
Faktor utama dari the dip adalah mengetahui bentuk kurva yang akan dilalui tersebut. Gampangnya, mari kita coba cari tahu bentuk kurva yang seharusnya bukan the dip. Ambil contoh ada dua: stagnan dan berbanding terbalik. Contoh stagnan gampangnya adalah “gitu-gitu aja”, seperti, sebuah kondisi dimana lo selamanya akan menjadi programmer kalo yang terus lo lakuin hanyalah menulis kode, unless lo mendapatkan keberuntungan, tentu saja.
Contoh yang berbanding terbalik, gampangnya adalah justru bentuk kurvanya malah terus menurun. Usaha lo sudah besar tapi entah bagaimana hasilnya malah tidak sebanding dan selalu menurun karena satu dan lain hal. Seperti, misal lo menjual makanan sehat untuk nyamuk. Sekeras apapun usaha yang lo lakukan untuk membuat produk tersebut menjadi yang terbaik, sebesar apapun pemasaran yang sudah lo lakukan untuk membuat nyamuk-nyamuk tertarik, kalau nyamuk tersebut tidak butuh, ya tidak bakal terjual.
Dan lo harusnya tahu itu sih kalau memang kasusnya itu. Ini hanya contoh.
Anyway, dari situ kebayang sedikit lah ya tentang mengetahui bentuk kurva yang akan dilalui tersebut. Yang intinya, setidaknya lo tahu kalau bentuknya tidak akan staganan ataupun berbanding terbalik.
Gue ada sebuah kisah (anjay) ketika waktu gue dulu belajar di pesantren. Ada satu teman gue yang usahanya cukup keras dalam menghafal namun justru hasilnya entah bagaimana malah terus lupa. Salah satu pelajarannya adalah Mutholaah, gampangnya itu adalah pelajaran yang pada dasarnya hanyalah sebuah cerita namun menggunakan bahasa Arab. Ujiannya, lo harus melanjutkan sebuah cerita, dan pelajaran mutholaah ini yang paling menyebalkan karena umumnya lo harus menghafal persis kata demi katanya. Literally tidak ada yang lo pelajari dari pelajaran ini selain menghafal.
Teman gue mengambil jalur alternatif. Dia bisa lulus ujian lisan mutholaah karena yang dia hafal adalah alur ceritanya. Misalnya jika cerita lengkapnya adalah “ketika itu Muhammad sedang tidur di kasurnya, sedangkan jam (menunjukkan pukul) sepuluh. Malam sudah diliputi kegelapan dan kedinginan. Suasana pun sepi…” dia menceritakannya dengan “ketika Muhammad tidur diatas kasur. Di jam 10 malam. Malam tersebut gelap dan dingin…” sampai ke kejadian kebakaran dan menolong temannya (ini cerita lengkapnya, just in case penasaran).
Teman gue berdalih ke penguji bahwa yang dia harus hafal bukanlah ayat Al-Quran (yang mana harus benar-benar sesuai secara literal) dan since Ujian Lisan adalah tentang ujian mental dan dia bisa mempertanggung jawabkan keyakinannya, so it works?
…mengingat dia sekarang sudah lulus juga hahaha.
Dari kisah teman gue tersebut gue rasa bisa digambarkan sebagai The Dip. Bentuk kurvanya adalah dia sudah berusaha untuk terus menghafal namun seringkali lupa (menurun). Yang dia lakukan di “the dip” tersebut adalah mengambil alternatif (memahami alur cerita dan menghafal kosa kata yang gampang diingat) alih-alih “gue cabut dari pesantren aja kali ye mutholaah kaga kepake juga klo gue jadi dpr” alias berhenti berusaha.
Survivorship Bias
Karena The Dip salah satunya adalah tentang “the chosen one”, topik survivorship bias tentunya harus disinggung. Survivorship bias atau bias bertahan hidup ini adalah pemikiran yang cenderung hanya melihat sesuatu yang diketahui saja dan mengesampingkan sesuatu yang belum diketahui. Survivorship bias ini gampangnya seperti “kalau dia bisa, gue juga pasti bisa” dan ini diyakini memiliki dampak yang negatif.
Ambil contoh misal lo melihat teman SMA lo yang sudah bisa memiliki rumah di umur 25. Yang lo lihat (ketahui) hanyalah dia adalah teman SMA lo dan umurnya sama-sama 25. Yang tidak lo lihat mungkin adalah usahanya dalam mengumpulkan dana, penghematannya untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan realita bahwa orang tuanya kaya.
Kalo hanya karena dia sama-sama satu SMA sama lo dan sama-sama berumur 25, bukan berarti lo pun bisa mendapatkan apa yang dia dapatkan juga.
Silahkan ganti konteks umur ataupun SMA tersebut misalnya menjadi “sarjana” atau “top tier university”, atau apapun yang mungkin relate dengan kondisi lo.
Salah satu yang dibahas oleh Seth Godin dalam bukunya ini adalah tentang “menjadi nomor satu” alias tentang “menjadi yang terbaik” alias tentang “menjadi rata-rata hanyalah untuk pecundang”.
Tentang, jika lo bisa melalui the dip, berarti lo adalah yang terbaik.
Alias, tentang menjadi yang terpilih.
Seperti, jika lo melamar ke perusahaan X, kenapa orang yang harus dipilih untuk posisi Y adalah lo dan bukan 69 pelamar lainnya?
Jawabannya mungkin adalah karena lo kandidat yang terbaik.
Nah, pada dasarnya, the dip ini adalah sebuah kondisi dimana lo bisa bertahan dan menjadi yang terbaik. Kalau misalnya salah satu spek “kandidat terbaik” tersebut adalah memiliki banyak sertifikasi dari berbagai pelatihan di bidangnya, lo menjadi yang terbaik karena berhasil memiliki lebih banyak sertifikasi disaat orang lain gagal memiliki lebih banyak sertifikasi dari lo.
The dip nya berarti dalam mengambil sertifikasi untuk menjadi salah satu yang terbaik, misalnya.
Opportunity Cost
Dalam kehidupan, tidak jarang kita akan menghadapi dilema dalam “bertahan atau berhenti”.
Bayangkan harus dropout setelah menghabiskan sekian juta untuk biaya studi.
Bayangkan masih terus beroperasi meskipun tahu pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan.
Salah satu kunci untuk mengetahui bentuk the dip adalah: jika memang layak dilakukan, mungkin saja akan ada the dip.
Dan tantangan terbesarnya justru bukanlah di memutuskan untuk terus, melainkan di memutuskan untuk berhenti.
You know, “when you feel like giving up, remember why you started™ thing.
Sebagai penutup, mari kita kembali ke pernyataan “jika memang layak dilakukan, mungkin saja akan ada the dip”. Ada sebuah istilah yang disebut “opportunity cost”, gampangnya ini adalah tentang “merelakan suatu kesempatan demi mengambil kesempatan lain”. Misal, lo rela begadang demi bisa menyelesaikan kerjaan minggu kemarin. Pertanyaannya, gampangnya, ada dua:
- Apa yang akan terjadi jika lo mengorbankan jam tidur?
- Apa yang akan terjadi jika lo tidak mengorbankan jam tidur?
Opportunity cost ini biasanya terjadi ketika dihadapkan dengan sesuatu yang sifatnya terbatas. Dalam kasus ini, misalnya waktu yang setiap harinya hanya memiliki 24 jam, dan tidak bisa ditambah.
Misal jawaban dari pertanyaan pertama adalah “kurang tidur tapi setidaknya kerjaan kelar” dan jawaban dari pertanyaan kedua adalah “bisa cukup istirahat dan kerjaan mah bisa nunggu lah”. Terlepas bagaimanapun realitanya (misal: kurang tidur tapi ternyata kerjaan masih belum kelar ataupun tunda pekerjaan dan ternyata masih kurang tidur) itu adalah cerita lain.
Setidaknya lo sudah memilih peluang yang ada berikut dengan resikonya.
Kembali ke topik, dalam memutuskan untuk “terus atau berhenti”, coba pertanyakan:
- Apa yang akan terjadi jika terus?
- Apa yang akan terjadi jika berhenti?
Jika “biaya” dalam mengambil keputusan tersebut layak “dibayar” demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan, what is stopping you from doing so, I guess?
Bulan-bulan kemarin teman gue curhat tentang ngerasa capek dalam mengejar seseorang, you know, relationship thing. Gue tidak pandai dalam hal seperti ini, tapi setidaknya gue tahu usaha dia. Dari awal. Dia minta saran ke gue tentang langkah selanjutnya yang akan dia ambil, dan gue hanya memberi pertanyaan: Lu bakal lebih capek ngejar ini orang atau bakal lebih capek kalau ngejar orang baru?
Pada 05/07/2022 kemarin, dia telfon gue di WhatsApp.
Dari salam pembukanya terdengar seperti ingin menyampaikan kabar gembira, dan nyatanya memang benar. Dia sudah mengorbankan kesempatan untuk mencari dan mengejar orang baru demi bisa terus mendapatkan hati seseorang yang sudah dia pilih, meskipun mungkin terasa cukup melelahkan.
Tapi dia berhasil melewati the gip nya.
Dia bisa bertahan, dan dia tahu jika tidak memilih berhenti adalah sesuatu yang dia yakini benar.
Dan kabar baiknya lagi, sepertinya hati orang tuanya orang yang teman gue kejar ini juga udah dia dapet lol. Can’t wait for more good news at the of the year to be honest (sehingga keluhan-keluhan temen gue kaga sia-sia sering gue denger HAHAHA)
CTO gue pernah bilang ketika 1:1 dulu kalau segala sesuatu pasti memiliki tradeoff. Sepertinya memilih apa yang harus dikorbankan demi mendapatkan sesuatu yang lain adalah sebuah skill yang harus terus diasah, khususnya ketika berhadapan dengan sesuatu yang memiliki batas (which is everything, I guess?)
Once I was in one of my own dips and wondered what hurt the most: holding on or letting go. I couldn’t hold on any longer yet knowing the feeling of letting go was painful.
I chose to quit.
My objective is nothing but to get on with my life.
I don’t know if my decision was the best yet I know I only regretted my own decision twice.
And the later one doesn’t even count.
Despite it still hurts to this day,
at least my life goes on now.