Ketika gue mempelajari gaya hidup “minimalis” ada salah satu aturan ketika hendak memiliki suatu barang baru: Beri waktu setidaknya selama 12 hari dulu, jika selama itu masih tetap kepikiran, mungkin bisa dipertimbangkan untuk membeli. Angka 12 tersebut bisa diubah sesuai kebutuhan, ada yang menggunakan 30 jam (khususnya yang menggunakan 30/30 rule)s atau mungkin bisa juga selama 24 hari, anything what works for you.
Disamping itu, ada sebuah mitos tentang “pembentukan kebiasaan” yang mana setidaknya memakan 21 hari untuk membuat “hal baru” menjadi hal yang biasa.
Hubungan antara 2 hal diatas tersebut adalah satu: waktu. It takes time, a fucking time.
Ketika pindah ke tempat kerja baru, hampir segala sesuatu terlihat berbeda. Orang-orangnya, lingkungannya, alat-alat nya, budayanya, apapun. Selama seminggu mungkin masih terasa seperti orang asing sampai tak terasa sudah 30 hari bekerja di perusahaan tersebut dan menggunakan kata ganti “gue” dari yang sebelumnya “saya” karena sudah merasa tidak berkomunikasi dengan orang asing.
Begitupula ketika pindah ke tempat tinggal baru. Hampir segalanya terasa asing, dari perabotan; gaya dinding, bentuk ruang, suhu udara, dsb. Namun pada akhirnya pun akan terbiasa karena betah dan tidak betah adalah tentang pilihan.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung pada tahun 2015 lalu, cara gue hidup lumayan banyak berubah. Dari yang sebelumnya makan tinggal turun kamar tanpa mengkhawatirkan apa yang bisa dimakan hari ini, menutup hari tinggal tidur tanpa mengkhawatirkan apakah pintu sudah terkunci, sampai ke yang sebelumnya menjalani hidup tinggal hidup tanpa harus memikirkan tagihan listrik, biaya sewa kamar dan hal-hal lain yang harus dibayar setiap akhir bulan.
Namun pada akhirnya gue terbiasa, meskipun tidak merasa senang juga. Karena pada akhirnya itu adalah realita yang harus gue hadapi, apapun yang terjadi, sampai kapanpun nanti.
Kata “biasa” tidak lepas dari “kebiasaan” ataupun “terbiasa”. Dua hal tersebut seperti sama namun gue rasa memiliki maksud yang berbeda. Kata “terbiasa” terdengar seperti sesuatu yang dilakukan karena suatu keadaan sedangkan “kebiasaan” seperti sesuatu yang dilakukan secara otomatis terlepas dalam keadaan apapun itu.
Gue rasa tidak ada yang salah dengan dua hal tersebut selain karena kita memiliki pilihan disamping itu terdapat sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Gue terbiasa menjadi morning person pada weekdays sedangkan kebiasaan gue adalah tidur larut karena sebuah alasan (biasanya gara-gara susah tidur karena kebanyakan konsumsi kafein). Gue bisa memilih untuk menjadikan bangun tidur pagi sebagai kebiasaan gue dan menghindari susah tidur di malam hari dengan mengurangi konsumsi kafein.
Atau mungkin gue bisa aja memilih untuk bekerja di perusahaan yang memiliki zona waktu yang berbeda dengan tempat tinggal gue sekarang lalu melanjutkan kebiasaan tidur larut tanpa harus ribet-ribet mengurangi konsumsi kafein. Selalu ada pilihan, bukan?
But anyways. Salah satu hal yang gue malesin dari hal-hal terkait kebiasaan ini adalah di momen transisi. Entah di kondisi ketika membiasakan akan adanya sesuatu ataupun membiasakan ketika tidak adanya sesuatu.
Kedua kondisi tersebut melakukan hal yang berbeda namun memiliki pengalaman yang sama: kehilangan.
Have I written the title of this blog post, yet?
Transisi
Arti transisi menurut KBBI adalah peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya) pada yang lain, just in case my fellow CSS nerds read this shit. Proses transisi relatif tidak mudah sekalipun hanya untuk bisa menampilkan 60 frame dalam satu detik.
Terdapat alasan yang beragam mengapa transisi berjalan tidak lancar namun yang pasti adalah karena satu: adanya bottleneck alias penghambat.
Di kasus nyata, penghambat tersebut bisa saja adanya peristiwa singkronus yang menghambat thread utama yang bertugas menggambar piksel ke layar; atau bisa saja karena CPU yang sedang kewalahan memproses banyak hal dalam waktu yang sama, atau bisa saja karena terjebak di ruang nostalgia ataupun meyakini sesuatu yang tingkat kepastiaannya tidak jelas padahal dilain sisi sudah jelas.
Ehm.
Bentar bentar gue ngambil rokok dulu.
Oke I’m back.
Dalam proses penggambaran piksel, ada sebuah aturan bahwasannya bila sesuatu dapat menampilkan sesuatu setidaknya 60 gambar per-detik, maka transisi terhadap pergantian gambar-gambar tersebut akan terasa lancar. Gambaran sederhananya, bila lo berada di kondisi ingin menyelamatkan hp lo yang jatuh, pikiran lo udah menginstruksikan untuk menangkapya sedangkan tangan lo baru merespon di waktu ketika hp lo sudah terbanting ke lantai.
Tapi kehidupan nyata tidak hanya tentang mengambar sesuatu dalam bentuk piksel, namun yang pasti ada aturannya juga. Misal, ketika gue pindah ke Bandung, gue harus berhenti membandingkan kondisi Serang dengan Bandung. Gue tidak bisa semena-mena bilang “sorry bahasa Sunda gue kasar, soalnya di Banten ini halus” melainkan gue harus membiasakan menggunakan bahasa Sunda yang digunakan di Bandung karena ini bukan Banten dan silahkan balik ke Banten kalau memang gue tidak ingin melepas Banten.
I guess you guys got the point.
Agar proses transisi gue diatas terasa lancar, gue bisa mengambil beberapa pendekatan misal dimulai dengan tidak berbicara bahasa sunda, dilanjutkan dengan belajar sedikit-sedikit bahasa Sunda yang umum digunakan di Bandung lalu sedikit-sedikit mempraktikan sekalipun misalnya menggunakan kalimat “abdi atos makan euy” dari yang sebelumnya “aing gues dahar, anjing”
Just kidding (kecuali klo lagi komunikasi sama si wildan).
Ada satu hal yang penting dari transisi ini: alasannya.
Karena berbicara tentang alasan, pasti berkaitan dengan sebuah pertanyaan. Dari pertanyaan “haruskah?” sampai ke “is it worth it?“.
But, regardless of the answer, you have a choice, once again.
Ada penggalan lirik favorit gue dari lagu berjudul 1x1 yang dibawakan oleh Bring Me The Horizon yang mana berbunyi: “I don’t know what hurts the most, holding on or letting go”.
Di kebanyakan kondisi, peristiwa yang terasa “menyakitkan” selalu di ketika “meninggalkan” namun di lain sisi justru ketika tidak meninggalkan itu sama sekali.
Seperti, jika teman kantor gue berpindah ke perusahaan lain, mungkin itu adalah keputusan terbaik yang dia pilih. Kehilangan adalah hal yang sudah pasti, namun ada hal yang lebih besar lagi yang mungkin harus dihadapi yang tidak bisa dilihat apalagi dirasakan oleh orang lain.
Atau, bahkan ada yang terus bertahan bekerja selama 20 tahun ditempat yang sama alih-alih pindah dan menghadapi lingkungan dan kemungkinan lain yang kurang pasti.
Apapun.
Masih banyak contoh lain tapi waktu sudah menunjukkan jam 11.57 PM, jadi mari kita persingkat.
Dalam masa transisi, pasti ada hal yang membuat seperti menemukan hal yang hilang.
Yang biasanya menyebabkan terjadinya membuat perbandingan, dari “kok ini ada A padahal biasanya ga ada” sampai ke “kok ini ga ada X padahal biasanya ada X”.
Pendekatan gue ketika dihadapi kondisi tersebut adalah mempertanyakan kembali keputusan gue: “is it worth it?“.
Dilanjutkan dengan mengingat kembali alasan gue mengambil keputusan tersebut.
Lalu teringat akan apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi bila gue tidak mengambil keputusan tersebut.
Dan mendapatkan jawaban yang selalu sama sekalipun sedang ragu: “It’s worth it, I deserve this”.
Lalu gue tersadar bahwa gue bukan meragukan keputusan gue, melainkan hanya belum terbiasa dan hanya membutuhkan waktu.
I know there’s a missing piece, but I know I don’t need that.
Sometimes having something you need is far better than something you want.
Is it worth it?
You already know the answer.